Beda Ahlus Sunnah dengan “Salafi"

Mengingat kelompok murji’ah berbaju “salafi” semakin berkembang di negeri Indonesia, maka kita patut waspada agar virus murji’ah ini tidak menyebar dikalangan kaum muslimin. Dengan mengetahui ciri-ciri mereka dan mengetahui perbedaan Ahlus Sunnah dengan “Salafi” diharapkan kita tidak tertipu dengan ucapan mereka yang mengklaim dirinya ahlus sunnah, namun pada hakekatnya mereka adalah murji’ah disadari maupun tanpa mereka sadari. Berikut penjelasannya...



Pertama, perbedaan inti ahlus sunnah dengan salafi adalah ahlus sunnah menyakini bahwa seseorang bisa kafir karena hati, ucapan, maupun perbuatannya dan ahlussunnah menghukumi kafir seseorang berdasarkan dhohir ucapan dan perbuatan seseorang. Hal ini berdasarkan surat at taubah ayat ke 65-66 yang yang mana Alloh mengkafirkan sekelompok orang yang menghina Rosululloh dan para sahabatnya. Sedangkan salafi menghukumi kafir seseorang berdasarkan hatinya, kalo ada seseorang yang mengucapkan dan mengamalkan perbuatan kufur maka salafi belum berani mengkafirkannya sebelum mengetahui isi hatinya.



Kedua, ahlus sunnah meyakini hilangnya amalan menjadikan hilangnya iman, dan iman itu tidak hilang dengan hilangnya sebagian amal sebagaimana yang dinyatakan oleh khowarij dan mu’tazilah. Sedangkan salafi meyakini bahwa jenis amalan itu termasuk kesempurnaan iman, bukan rukun daripada rukun-rukun iman sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlus sunnah. Oleh karena itu, tatkala mereka merealisasikan prinsip ini pada zaman sekarang, maka orang yang melanggar syari’at secara keseluruhan dan berhukum dengan undang-undang orang kafir serta memerangi orang yang menyeru untuk berhukum kepada syari’at islam tidaklah menjadi kafir, tapi hanya mengurangi kesempurnaan iman.



Ketiga, ahlus sunnah meyakini bahwa iman itu Tasdiq (membenarkan) dan amal (mengerjakan), dan kekafiran itu disebabkan karena Takdzib (mendustakan) dan yang lainnya, seperti berpaling dari ketaatan dan meninggalkan amal secara keseluruhan. Menurut sebagian dari ahlus sunnah berpendapat bahwa meninggalkan sholat menduduki posisi meninggalkan amal secara keseluruhan. Sedangkan salafi meyakini iman itu tidak hilang dengan hilangnya seluruh amal, karena kekafiran itu disebabkan karena mendustakan (syari’at), dan karena iman itu bermakna “At Tashdiq” (membenarkan) maka lawan katanya adalah “At Takdzib” (mendustakan), bukan yang lainnya. Jadi, jangan heran ketika penguasa yang berpaling dari syari’at islam mereka masih menganggapnya sebagai muslim, karena menurut salafi kekafiran itu bila disebabkan oleh pendustaan terhadap syari’at.



Keempat, ahlus sunnah menganggap orang muslim yang menyekutukan Alloh berarti dia menjadi musyrik walaupun belum tegak hujjah atasnya, dan kafir apabila sudah tegak hujjah, sedangkan salafi meyakini orang yang menyekutukan Alloh itu masih muslim jika belum tegak hujjah atasnya, musyrik hanya perbuatannya sedangkan orangnya masih muslim. Hal ini karena salafi tidak bisa membedakan kapan seseorang dikatakan musyrik secara bahasa dengan musyrik secara maknawi. Jadi menurut salafi kalo dia tidak muslim berarti ya musyrik atau kafir yang berarti kekal di neraka. Sedangkan menurut ahlus sunnah orang musyrik itu ada yang langsung diadzab dan kekal di neraka dan ada orang musyrik yang diakherat diuji atau terserah atas kehendak Alloh apabila orang ini tidak mempunyai tamakkun (kesempatan) untuk mencari kebenaran.



Kelima, ahlus sunnah dalam membahas masalah syirik secara menyeluruh yang meliputi pembahasan syirik kubur dan syirik dustur, sedangkan salafi hanya membahas masalah syirik kubur sedangkan syirik dustur tidak pernah bibahas, kalaupun dibahas hanya sekilas tentang kewajiban berhukum dengan hukum Alloh, dan itu pun ujung-ujungnya kembali ke hati. Dan jangan heran kalo ada orang yang menghina Alloh dan Rosulnya dengan membuat hukum yang menandingi hukum Alloh salafi masih menganggapnya sebagai muslim, ya karena menurut mereka selama tidak meyakini bolehnya membuat hukum selain hukum Alloh ya berarti mereka muslim.



Keenam, ahlus sunnah membedakan antara takfir nau’ dan takfir muayyan khusus dalam masalah-masalah yang khofi (samar) seperti fitnah al qur’an makhluk, jadi kalo ada seseorang yang mengatakan al qur’an itu makhluk maka dia tidak langsung dihukumi kafir selama belum tegak hujjah (takfir nau’) adapun setelah tegak hujjah maka dia dihukumi kafir (takfir mu’ayyan). Sedangkan salafi membedakan antara takfir nau’ dan takfir mu’ayyan dalam masalah yang khofi juga dalam masalah-masalah yang dhohir (jelas), maka tidak heran ketika mereka mendapati orang yang “menginjak-nginjak” al Qur’an dengan sengaja mereka masih saja ragu untuk mengkafirkannya.



Ketujuh, ahlus sunnah membedakan bom bunuh diri dengan bom amaliyah jihadiyyah dan membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini merupakan siasat perang modern untuk membunuh sebanyak-banyaknya musuh dan menggentarkan hati-hati mereka, sedangkan salafi mengharamkannya secara mutlak, bagi mereka semua orang yang melakukan amalan ini berarti mati konyol. Ini akibat mereka tidak paham fiqul waqi’ sehingga menggunakan dalil tidak pada tempatnya. Seperti hadist yang berkaitan dengan orang yang bunuh diri karena frustasi dipake untuk menyerang mujahidin yang melakukan amaliyyah “bom bunuh diri” untuk tujuan jihad, tentu ini sangat jauh berbedaannya.



Kedelapan, ahlus sunnah membedakan antara keputusan tertentu dengan keputusan yang dinilai sebagai peletakan hukum umum. Ahlussunnah meyakini kufur asghar hanya berlaku bagi penguasa yang melanggar keputusan tertentu dalam keadaan dia menjalankan syari’at islam, dan kufur akbar bagi penguasa yang tidak mau atau enggan menerapkan syari’at islam. Sedangkan salafi tidak membedakan antara keduanya, hukum kufur akbar hanya berlaku bagi penguasa yang mengingkari kewajiban menerapkan syari’at islam. Jadi dalam masalah ini salafi meniadakan kufur amali.



Kesembilan, ahlus sunnah membedakan antara tegak hujjah dengan paham hujjah dalam masalah-masalah yang dhohiroh. Adanya al qur’an di tengah-tengah kaum muslimin, maka ini berarti hujjah telah tegak hujjah bagi mereka adapun paham hujjah maka maka diserahkan kepada individu masing-masing apakah mau memahaminya atau tidak. Sedangkan salafi tidak membedakan antara tegak hujjah dengan paham hujjah, dan jangan heran kalo ada pemerintahan yang melakukan kesyirikan atau kekufuran yang nyata seperti pemerintah yang menerapkan hukum demokrasi, melegalkan bank-bank ribawi, melegalkan prostitusi, dll masih mereka anggap sebagai pemerintahan islam, bahkan menjadikan ulil amri yang harus dita’ati karena menurut salafi hujjah belum tegak atas mereka, namun anehnya bukannya menegakkan hujjah kepada penguasa tapi salafi malah menjilat dihadapan penguasa.



Kesepuluh, ahlus sunnah meyakini sayyid quth, syaikh abdulloh azzam, syaikh salman al audah, syaikh safar al halawi, syaikh al maqdisi dll termasuk ulama dari kalangan ahlus sunnah yang perkataannya bisa diterima dan ditolak, begitu juga dengan syaikh al albani, syaikh ibnu baz, dan syaikh utsaimin mereka juga termasuk ulama ahlus sunnah yang kadang kala benar dan salah, sehingga ahlus sunnah menempatkan mereka secara proporsional. Sedangkan salafi, ulama mereka hanyalah syaikh al albani, syaikh ibnu baz dan syaikh utsaimin dan ulama yang menjadi murid-murid mereka sedangkan selain mereka dianggap sebagai ahlul bid’ah, khawarij, takfiri, teroris, dll, sehingga tidak heran ketika mereka menganggap sesat orang yang tidak sepaham dengan syaikh mereka.



Kesebelas, ahlus sunnah berkasih sayang dan berlemah lembut kepada orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang kafir dan munafikin. Sedangkan salafi berkasih sayang dengan orang-orang kafir dan munafikin dan bersikap keras terhadap kaum muslimin. Hal ini terlihat jelas dari amalan mereka, lihatlah ketika ada sekelompok kaum muslimin yang ingin menerapkan syari’at islam mereka langsung mengatakan “mereka adalah teroris” sedangkan orang-orang kafir dan musyrik dari kalangan thogut dan anshornya mereka membelanya habis-habisan, bahkan mereka ikut membantu mereka dalam menyerang mujahidin. Memang benar ungkapan “ salafi adalah murji’ah terhadap penguasa, dan khawarij terhadap kaum muslimin”. Dan salafi (baca: murji’ah) itu selalu bersama para penguasa. Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi rooji’un…



Kedua belas, ahlus sunnah meyakini bahwa negara yang tidak berhukum dengan hukum Alloh maka disebut negara kafir dan insya Alloh ini yang mendekati kebenaran dari pendapat beberapa ulama seperti pendapat Imam Asy Syarkhasi, Al qadhi Abu Ya’la Al Hanbali dan Ibnu Qayyim dan ulama lainnya yang menyatakan negara islam adalah negara yang diberlakukannya hukum islam atau minimal negara tersebut diantara keduanya seperti pendapat syaikul islam ibnu taimiyyah. Sedangkan salafi meyakini bahwa selama negara membolehkan mengumandangkan adzan dan sholat berjama’ah maka negara tersebut negara islam walaupun negeri tersebut penuh dengan kekufuran dan kemusyrikan.



Ketiga belas, ahlus sunnah menganggap bahwa mengetahui fiqih waqi’ merupakan hal yang cukup penting bagi kaum muslimin guna menghadapi makar-makar yang akan dilakukan kaum kuffar terhadap islam. Sedangkan salafi menetapkan bahwa fiqih waqi’ itu merupakan kekhususan pagi para pemimpin, maka mereka meremehkan dan membodohkan orang-orang yang menyibukkan diri dalam mempelajari fiqih waqi’ tersebut. Dan tidaklah perisai ini mereka pakai kecuali hanya untuk menutupi kebodohan dan dengan apa yang terjadi di sekitar mereka serta untuk merintangi jihadnya kaum muslimin.



Keempat belas, ahlus sunnah meyakini bahwa jihad pada hari ini termasuk jihad fie sabilillah dan akan berlangsung sampai hari kiamat, walaupun tidak adanya kholifah atau ulil amri. Sedangkan salafi meyakini jihad harus bersama ulil amri dan mereka pun menganggap jihad pada hari ini adalah batil dan termasuk bunuh diri, dan orang yang mati syahid di negeri Islam pada hari ini adalah bunuh diri. Dan kebodohan salafi adalah mereka tidak mau berjihad sampai “ulil amri” nya memerintahkan jihad, tentu ini tidak mungkin, karena tidak ada istilah jihad dalam negara sekuler walaupun negara kita memerintahkan “jihad” tentu bukan untuk membela islam tapi untuk mempertahankan NKRI.



Kelima belas, ahlus sunnah meyakini bahwa khawarij adalah kelompok yang meyakini orang lain telah kafir dikarenakan kemaksitaan yang ia lakukan, dan keluar kepada penguasa muslim dengan pedang (memberontak). Sedangkan salafi, menganggap siapa saja yang mengingkari dengan lisan atas kemungkaran yang dilakukan oleh imam maka dia khowarij. Adapun ahlus sunnah memandang mengingkari imam dengan lisan saja, tanpa mengkafirkan kaum muslimin atau meyakini orang tadi kekal di dalam neraka disebabkan perbuatan dosa besar yang ia lakukan atau karena keluar kepada penguasa dengan pedang, maka orang yang seperti ini tidaklah disebut khowarij.



Keenam belas, ahlus sunnah memandang bolehnya menasehati penguasa secara terang-terangan apabila kemungkaran yang dilakukan penguasa juga terang-terangan, seperti seorang wanita yang memprotes khalifah Umar ketika khutbah dimimbar yang hendak membatasi Mahar sebanyak 400 dirham. Juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersama umat Islam lainnya menuju istana Sultan Ibnu Ghazan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Sedangkan salafi mengharamkan menasehati penguasa secara terang-terangan dan menganggap orang yang melakukan hal tersebut sebagai khawarij.



Ketujuh belas, ahlus sunnah meyakini bahwa tidak setiap pemberontakan kepada penguasa disebut khawarij, seperti pemberontakan Muawiyah Khalifah Ali bin Abi Thalib juga pemberontakan Khilafah Bani Abbassiyyah terhadap Khilafah Bani Umayyah. Sedangkan menurut salafi, siapa saja yang memberontak kepada penguasa yang sah, itulah Khawarij. Paham seperti ini yang dimanfaatkan thoghut untuk menyerang mujahidin dengan menuduh mujahidin sebagai khawarij anjing-anjing neraka yang darahnya halal untuk ditumpahkan.



Kedelapan belas, ahlus sunnah meyakini bahwa kufur kepada thoghut harus diaplikasikan dengan baro’ kepada pelakunya. Sedangkan salafi kufur kepada thoghut hanya dilisan semata, ketika mereka diseru untuk kufur kepada thoghut mereka mengingkarinya karena menurut mereka penguasa saat ini bukan thoghut. Menurut salafi hanya sistemnya yang thoghut tapi orang yang menjalankan sistem thoghut belum bisa disebut thogut karena mereka masih sholat. Adapun ahlussunnah meyakini bahwa siapa saja yang menjalankan sistem thoghut secara langsung dengan tanpa paksaan maka dia secara otomatis disebut thoghut.



Kesembilan belas, ahlus sunnah meyakini bahwa untuk menegakkan syari’at islam pada saat ini harus dengan dakwah dan jihad. Sedangkan salafi mempunyai prinsip untuk menegakkan syariat islam cukup dengan tasfiyah dan tarbiyah semata dan jihad yang paling afdhol pada saat sekarang ini adalah jihad melawan hawa nafsu karena jihad qital menurut mereka hanya bisa dilaksanakan harus bersama ulil amri. Sedangkan kita tahu bahwa ulil amrinya salafi adalah orang sekuler, sehingga mana mungkin ulil amri ini akan memperintahkan jihad..??



Kedua puluh, ahlus sunnah mengharamkan ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum karena pemilihan umum pada hakekatnya adalah memilih “tuhan” yang akan menandingi Alloh dalam hal pembuatan hukum (tasyri’) yang ini merupakan hak khusus bagi Alloh. Sedangkan sebagian salafi ada yang membolehkan nyoblos (baca: memilih arbab) dengan alasan memilih calon pemimpin atau wakil rakyat yang terbaik guna kemaslahatan kaum muslimin. Salafi tidak peduli hakekat dari pemilihan umum tersebut.



Kedua puluh satu, ahlus sunnah meyakini bahwa takfir kepada orang tertentu (takfir muayyan) dalam masalah-masalah dhohiroh kepada orang yang melakukan kesyirikan dan kekufuran yang nyata merupakan hak setiap kaum muslimin yang paham tauhid, tentu apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sedangkan takfir muayyan dalam masalah-masalah yang khofiyah maka hal ini diserahkan kepada ulama atau hakim ahlul ijtihad karena masalah khofiyah perlu penegakkan hujjah oleh seorang ahli sebelum dikafirkan. Sedangkan salafi meyakini bahwa takfir muayyan adalah hak khusus ulama, sehingga salafi merupakan sekte jama’ah yang anti takfir muayyan.



Sebenarnya masih banyak perbedaan antara ahlus sunnah dengan “salafi” (baca: murji’ah berbaju salafi), namun saya kira penjelasan diatas sudah mencukupi. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bermanfaat bagi pembaca. Saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Wallohu a’lam.

Komentar

Postingan Populer