HUKUM MEMBERONTAK KEPADA PENGUASA MURTAD

TERJEMAHAN KITAB

(FASHLUL KALAAM FI MAS-ALATIL KHURUUJ ‘ALAL HUKKAAM)

Oleh Syaikh Abu Bashir Abdul Mun’im Mushthafa Halimah

Alih Bahasa: Abu Sulaiman


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya, kami memohon pertolongan-Nya dan kami memohon ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan-kejelekan amalan kami. Siapa yang Allah beri dia petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan siapa yang Dia sesatkan maka tidak ada yang dapat memberi dia petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepadanya, keluarganya, serta para sahabatnya. Wa ba’du:

Sesungguhnya masalah memberontak kepada para penguasa dan sikap Islam terhadapnya, adalah tergolong sekian masalah yang penting yang mana manusia terbagi menjadi dua madzhab dan dua kelompok.

Madzhab ifrath (berlebih-lebihan) dan ghuluw (melampaui batas) yang cenderung kepada pendapat bolehnya khuruj (keluar dari ketaatan/memberontak) terhadap para penguasa karena sekedar keterjatuhan mereka kepada sedikit penyelisihan/penyimpangan syari’at. Dan sikap ini tercermin pada Khawarij dan orang yang masuk pada lingkaran mereka dari kalangan yang terpengaruh dengan mereka dan dengan manhaj mereka serta cenderung pada sikap ghuluw…!

Dan kelompok lain adalah kebalikan kelompok pertama, mereka cenderung kepada tafrith (sikap meremehkan/teledor/tidak peduli) dan kaku dalam masalah ini, sampai pada batas di mana mereka tidak memandang bolehnya khuruj terhadap para thaghut dengan pentakwilan-pentakwilan Ahlut Tajahhum wal Irja’, dan mereka mengkiyaskan keadaan mereka dengan keadaan Bani Umayyah dan Abbasiyah!

Di antara kelompok ini dan itu, ada kelompok ke tiga yang pertengahan yang komitmen dalam masalah ini dengan jalan al haq dan kebenaran yang telah menegakkan Al Kitab dan As Sunnah tanpa cenderung kepada ifrath dan tafrith, dan yang mana ini tercantum pada sikap Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Yang penting bagi kita di sini adalah menjelaskan sikap kelompok ketiga – kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah- terhadap masalah yang penting ini… yang telah ditunjukkan oleh Al Kitab dan As Sunnah, serta yang kami yakini dan kami anut dan kami pandang benar dan haq.

Ini berarti bahwa saya akan komitmen –insya Allah- dalam setiap apa yang saya tetapkan dan saya gulirkan dalam materi yang penting ini dengan dalil syar’iy dari Al Kitab dan As Sunnah serta apa yang kuat dari ucapan-ucapan ulama salaf umat ini.

Maka atas dasar ini maka saya katakan: Sesungguhnya para penguasa itu ada empat macam (sifat/keadaannya-ed):

(1) Penguasa yang kafir

(2) Penguasa yang muslim (yang shalih)

(3) Penguasa muslim yang fasiq

(4) Penguasa muslim yang sangat fasiq, durjana dan dhalim

Masing-masing dari para penguasa ini memiliki hukum yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dan berikut inilah sedikit rinciannya:

(1) PENGUASA YANG KAFIR

Penguasa yang kafir, baik yang kekafirannya dari sisi riddah (kafir karena murtad dari Islam) atau kekafirannya adalah kafir ashliy kemudian ia menguasai negeri kaum muslimin, adalah wajib atas kaum muslimin –dengan nash (dalil) dan ijma’- untuk keluar menentangnya dengan kekuatan sampai mereka menyingkirkannya dan menggantikannya dengan penguasa muslim yang adil yang mengurusi negeri dan manusia dengan Islam dan ajaran-ajarannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu’minin.” (QS. An Nisaa: 141)

Sedangkan di antara jalan bagi orang-orang kafir atas kaum mu’minin adalah mereka menjadi penguasa yang memerintah kaum mu’minin, yang mengatur mereka dengan hawa nafsu mereka, undang-undang mereka dan aturan-aturan mereka!!

Dan Allah Ta’alaa berfirman:

“Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampaui batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)

Sedangkan tidaklah ada orang yang melampaui batas yang lebih dahsyat pelampauan batasnya dan pengrusakannya di muka bumi ini daripada pelampauan batas dan pengrusakan para thaghut kufur dan riddah yang mengatur umat dengan aturan-aturan kafir dan kerusakan…!!

Allah telah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 149)

Sedangkan pemimpin tidaklah menjadi pemimpin kecuali untuk ditaati dalam apa yang dia putuskan dan dia perintahkan. Dan Allah telah menjelaskan dengan gamblang bahwa mentaati orang-orang yang kafir itu di antara akibatnya adalah menjadi murtad dari dien ini, sebagaimana dalam firman-Nya Ta’alaa:

“…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentu menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An‘am: 121)

Di dalam hadits yang muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubadah ibnu Ash Shamit berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami maka kami membai’atnya, sedang di antara bai’at (janji) yang beliau ambil dari kami adalah kami membai’at untuk mendengar dan ta’at dalam di masa giat kami dan masa ketidaksukaan kami, dalam masa sulit dan mudah kami, serta dalam penelantaran (hak) kami, dan untuk tidak merampas kekuasaan dari pemegangnya kecuali kalian melihat kekefiran yang nyata yang di sisi Allah kalian memiliki bukti di dalamnya.”

Hadits ini menunjukkan –secara jelas- bahwa pemimpin tidak boleh dilengserkan dari kepemimpinan dan kewenangan yang dia pegang kecuali kita melihat darinya kekafiran yang nyata -yang tidak mungkin dipalingkan dan ditakwil- yang di dalamnya kita memiliki dalil yang gamblang akan kekafirannya dari Al Kitab dan As Sunnah, kemudian bila hal itu di dapatkan dan terbukti kekafiran yang jelas itu ada padanya, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat kepadanya, dan wajib untuk melengserkannya dari pemerintahan dan kekuasaan, dan memberontaknya dengan kekuatan senjata.

Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 13/7: “Bila terjadi kekafiran yang nyata dari penguasa maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu bahkan wajib memeranginya bagi yang mampu akan hal itu.”

An Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 12/229: Al Qadli Iyadh berkata: “Ulama ijma’ bahwa kepemimpinan (imamah) tidak sah bagi orang kafir, dan bahwa seandainya muncul padanya kekafiran maka ia tercopot (dengan sendirinya)”, dan ia berkata: “Begitu juga seandainya ia meninggalkan pendirian shalat dan ajakan kepadanya.”

Saya berkata: “dan ucapannya “begitu juga seandainya ia meninggalkan pendirian shalat dan ajakan kepadanya” adalah isyarat pada sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim: “Akan ada umara di mana kalian mengenali dan mengingkari, siapa yang mengenali maka ia telah berlepas diri, dan siapa yang mengingkari maka ia selamat, akan tetapi orang yang ridla dan mengikuti“, mereka (para sahabat) berkata: “apa boleh kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “tidak! selama mereka shalat”. Dan dalam riwayat Muslim juga: “Tidak! selama mereka mendirikan shalat di tengah kalian. Tidak! selama mereka mendirikan shalat di tengah kalian.”

Hadits ini memberikan faidah bahwa pemimpin bila meninggalkan shalat dan meninggalkan memerintahkan kepadanya (meninggalkan dari memerintah rakyatnya untuk mendirikan shalat) maka ia telah kafir dan wajib membangkang terhadapnya dan menghantamnya dengan pedang (senjata).”

Bila dikatakan: “Dan bila kaum muslimin tidak mampu memberontaknya, maka apa yang harus dilakukan?”

Maka saya katakan: “Dalam hal seperti ini wajib atas kaum muslimin tiga hal:

Pertama : Mereka mempersiapkan persiapan -materi dan maknawi- sesuai kemampuan yang memungkinkan mereka untuk memberontak kepadanya dan melenyapkannya serta menenteramkan umat darinya dan dari kejahatan serta kekafirannya. Sebagaimana firman Allah Ta’alaa:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.(QS Al Anfal: 60)

Sayyid Quthub rahimahullah, berkata dalam Adz Dzilal 3/1543: “Persiapan apa yang dalam batas kemampuan adalah hal fardhu yang menyertai kefardhuan jihad, sedangkan nash memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dengan berbagai macamnya, coraknya dan sebabnya.”

Dan berkata: “Maka ia adalah batas-batas kemampuan maksimal, di mana kelompok yang muslim ini tidak meninggalkan satu sebab pun dari sebab-sebab kekuatan yang masuk dalam kemampuannya.”

Ketidakmampuan dari memberontak terhadapnya tidak menjadi alasan untuk duduk-duduk meninggalkan I’dad yang mampu dilakukan karena hal yang mudah tidak bisa gugur dengan hal yang sulit. Dan hukum asal dalam hal itu adalah firman Allah Ta’alaa:

“Maka bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16)

Dan dalam hadits yang muttafaq ‘alaih, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah sesuai kemampuan (maksimal) kalian.”

Al ‘Izz ibnu Abdis Salaam dalam kitabnya Qawaaidul Ahkam 2/5: “Siapa yang dibebani sesuatu dari ketaatan, terus dia mampunya terhadap sebagiannya dan tidak mampu terhadap sebagiannya yang lain, maka semestinya dia melakukan apa yang dia mampu dan gugur darinya apa yang dia tidak mampu terhadapnya.”

Ibnu Taimiyah berkata dalam Al Fatawa 28/259: “Wajib bersiap-siap untuk jihad, dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan dalam masa gugurnya jihad karena kelemahannya; karena sesuatu yang mana hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya maka ia adalah wajib.”

Kedua : Mereka menjauhinya dan menjauhi bekerja bersamanya atau di sisinya atau menjauhi pekerjaan apa saja yang bisa mengokohkan kekuasaannya dan pengaruhnya terhadap negeri dan masyarakat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan memerintah kalian sesudahku para pegawai yang mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengamalkan apa yang mereka ketahui, maka mentaati mereka adalah ketaatan, dan kalian berada dalam kondisi seperti itu beberapa masa. Kemudian memerintah kalian setelahku para pegawai yang mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dan mereka mengamalkan apa yang tidak mereka ketahui, maka siapa yang menjadi penesehat mereka dan menjadi pendamping (menteri) mereka, serta mengokohkan mereka, maka mereka itu telah binasa dan membinasakan, maka perbaurilah mereka dengan jasad kalian dan jauhilah mereka denga perbuatan kalian, dan persaksikanlah terhadap orang muhsin (yang baik) bahwa ia muhsin, dan terhadap orang buruk bahwa ia itu buruk.” (HR. Ath Thabrani, As Silsilah Ash Shahihah: 457)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh akan datang atas kalian para amir yang mendekatkan orang-orang yang jahat, dan mereka mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya, siapa yang mendapatkan itu dari mereka, maka janganlah ia menjadi penasehat, polisi, penarik zakat dan bendahara.” (HR. Ibnu Hibban, As Silsilah Ash Shahihah: 360)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar, sesungguhnya akan ada sesudahku para amir, kemudian siapa yang masuk menemui mereka terus dia membenarkan mereka dengan kebohongannya dan membantu mereka terhadap kedhalimannya maka ia bukan termasuk golonganku dan aku pun tidak termasuk golongan dia, dan dia tidak akan bisa mendatangiku di atas telaga. Dan siapa yang tidak masuk menemui mereka dan tidak membantu mereka terhadap kedhalimannya serta dia tidak membenarkan mereka dengan kebohongannya, maka dia adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya, dan dia akan menemuiku di atas telaga.” (Shahih Sunan At Tirmidzi: 1843).

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan ada para pemimpin, kalian mengenali dan mengingkari, siapa yang menentangnya maka ia selamat, dan siapa yang menjauhi mereka maka ia selamat, dan siapa yang berbaur dengan mereka maka ia binasa.” (HR. ATh Thabrani, Shahih Al Jami’: 3661).

Dan banyak hadits lainnya yang mendorong untuk menjauhi pekerjaan dari sisi para thaghut yang dhalim, dan untuk meninggalkan mereka.

Bila dikatakan: Hadits-hadits tadi khusus tentang para pemimpin yang durjana ?

Maka saya katakana: “Maka lebih utama dan lebih kuat lagi bila dibawa (penerapannya) kepada para imam kafir dan thaghut… Wallahu Ta’alaa a’lam.

Ketiga: Tidak mengakui secara sukarela terhadap keabsahannya dan keabsahan hukum dan pemerintahannya. Dan di antara hal itu adalah mereka tidak boleh menyandangkan terhadapnya ungkapan-ungkapan yang mengindiksikan pengakuan akan keabsahannya sebagai pemimpin atas negeri dan masyarakat : umpamanya memanggil dia dengan ucapan : Bapak Presiden… atau Baginda Raja …. Atau ungkapan penghormatan dan pengagungan lainnya yang mengindikasikan pengakuan terhadapnya, kekuasaannya dan pemerintahannya….!

Sesungguhnya umat seandainya sepakat atas hal itu dan bersatu atasnya –dan memang seharusnya mereka sepakat atas hal itu- maka sesungguhnya itu termasuk hal yang mempercepat kelenyapannya dan kelenyapan pemerintahannya dari negeri dan manusia….!”

Dan dari sisi lain sesunggunya mengakui keabsahannya dan keabsahan pemerintahannya adalah pengakuan akan keabsahan kekafiran dan tanda atas keridlaan dengannya. Sedangkan ridla dengan kekafiran adalah kekafiran tanpa ada perselisihan. Maka ia dari sisi ini adalah ketergelinciran aqidah yang berbahaya yang mesti hati-hati dari terjatuh di dalamnya….dan alangkah banyaknya orang yang terjatuh ke dalamnya!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian katakan kepada orang munafiq sayyiduna (tuan kami/pimpinan kami), karena seandainya dia itu memang tuan kalian, maka kalian telah membuat murka Rabb kalian subhanahu wa ta’ala.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dll, As Silsilah Ash Shahihah: 371). Dan dalam satu riwayat: “Bila sesorang berkata kepada munafiq: “Hai Tuan”, maka ia telah membuat murka Rabbnya Tabaraka wa Ta’alaa.”

Yaitu bila kalian menjadi pengecut yang menghantarkan orang munafiq menjadi pimpinan kalian, telah membuat murka Rabb kalian Tabaraka wa Ta’alaa…!

Saya berkata: “Ini tentang orang munafiq yang menampakkan keislaman, maka bagaimana dengan kaum muslimin bila pengecut dari jihad sampai memberikan keleluasaan orang kafir murtad untuk menjadi pemimpin dan sayyid atas mereka, maka tidak ragu bahwa mereka lebih utama masuk dalam murka Allah subhanahu wa ta’ala.”

Bila saja sesorang mengucapkan “wahai tuan” kepada orang munafiq adalah mengundang kemurkaan Allah Tabaraka wa Ta’alaa terhadapnya, maka bagaimana bila itu dilontarkan kepada para thaghut kafir dan murtad, sebagaimana ia banyak terjadi pada banyak manusia dengan ungkapan-ungkapan penyanjungan, pengagungan dan pujian serta loyalitas…?!!

* SYUBHAT PERTAMA: Keterjatuhan dalam fitnah (kekacauan).

Di antara syubhat yang dilontarkan dan disebarkan kaum murjifun (yang suka menebar issu) di tengah jalan menjihadi para thaghut dan penguasa riddah adalah ucapan mereka bahwa khuruj terhadap mereka menyebabkan terjadinya fitnah dan pertumpahan darah, pembunuhan dan peperangan, terhentinya banyak kepentingan serta akhir daftar pengaduan dan protes-protes yang sudah ma’ruf…!

Mereka saat mendengar ucapan “memberontak terhadap penguasa” langsung engkau melihat mereka bersegera melakukan tahdzir dan berkata: “fitnah…fitnah…fitnah itu sedang tidur, semoga Allah melaknat orang yang membangunkannya !!!”

Ini adalah syubhat yang lemah lagi rapuh yang bisa dibantah dari banyak sisi di antaranya: Bahwa fitnah yang sebenarnya terdapat pada sikap meninggalkan jihad dan pada sikap berpaling dari upaya menjihadi para thaghut kafir dan murtad, dan bahwa orang yang meninggalkan jihad yang mencari-cari alasan untuk meninggalkannya adalah yang lebih utama untuk jatuh dalam fitnah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Jabir ibnu Abdullah, berkata : “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hai Jadd –Jadd Ibnu Qais- apakah kamu ikut memerangi orang bule ?” Maka Jadd berkata: “Apakah engkau mau mengizinkan saya untuk tidak ikut wahai Rasulullah?, karena saya ini orang yang sangat mencintai wanita, dan sesungguhnya saya khawatir bila saya melihat wanita-wanita bule saya terfitnah (tergiur)??!” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata –seraya berpaling darinya- : “Saya telah mengizinkanmu”. Maka saat itu Allah menurunkan:

“Dan di antara mereka (munafiqin) ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah. Ketahuilah bahwa (justru) mereka (itulah yang) telah terjerumus ke dalam fitnah.” (QS. At Taubah: 49). [As Silsilah Ash Shahihah: 2988)

Saya berkata: Mereka itu telah terjatuh ke dalam fitnah setelah meminta izin dan setelah diizinkan bagi mereka, maka bagaimana halnya dengan orang yang meninggalkan jihad tanpa meminta izin dan tanpa diizinkan baginya, tidak ragu bahwa ia adalah lebih utama jatuh dalam fitna!

Dan diantaranya: Bahwa fitnah kekafiran dan syirik yang tercermin pada kekafiran si penguasa dan pemerintahannya tidak ada fitnah yang melampauinya, dan kejahatannya tidak ada kejahatan yang melebihinya, bahayanya tidak ada yang melampauinya; serta maslahat pelenyapannya tidak ada maslahat lain yang mengunggulinya dan di jalan pelenyapannya ringanlah setiap bahaya dan entenglah setiap fitnah.

Ia dengan nash dan ‘ijma adalah dosa besar yang paling besar, dan dosa yang paling jahat kedhalimannya. Ia adalah dosa yang tidak Allah Ta’alaa ampuni kecuali dengan taubat pelakunya darinya sebelum ia mati diatas syirik maka dia dimasukkan neraka jahanam seraya kekal di dalamnya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa:

“Sesungguhnya syirik adalah kedhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Dan firmanNya Ta’alaa:

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya dan Dia mengampuni dosa yang di bawah itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS.An Nisa: 48)

Dan dalam rangka menghabisinya Allah mensyariatkan jihad sampai tidak ada lagi fitnah (kesyirikan dan kekafiran) dan sampai ketundukan (ketaatan) seluruhnya murni kepada Allah Ta’alaa, sebagai mana firman Allah Ta’alaa:

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al Anfal: 39)

Dan tatkala Bani Israel terjatuh dalam syirik dan peribadatan terhadap anak sapi maka Allah Ta’alaa memerintahkan mereka agar membunuh diri mereka sendiri, maka kaum muwahhidun di antara mereka membunuh kaum musyrikin yang telah mengibadati anak sapi, sebagai mana firman Allah Ta’alaa:

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak sapi (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Rabb yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu sendiri. Hal itu adalah lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 54)

Oleh karena itu betapapun besarnya bencana pembunuhan dan peperangan namun sesungguhnya ia amatlah ringan di hadapan fitnah dan kerusakan syirik, sebagaiman firman Allah Ta’alaa:

“Dan fitnah itu lebih dahsyat (bahayanya) daripada pembunuhan.” (QS. Al Baqarah: 191)

Dan firman Allah Ta’alaa:

“Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” (QS. Al Baqarah: 217),

Yaitu fitnah kekafiran dan syirik lebih dahsyat dan lebih besar bahaya/kerusakannya dari pada pembunuhan dan peperangan serta kepedihan-kepedihan dan berbagai luka yang timbul karenanya.

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya: “Dan dikarenakan jihad itu mengandung penghilangan nyawa dan pembunuhan manusia maka Allah Ta’alaa menginggatkan bahwa apa yang mereka lakukan berupa kufur kepada Allah, syirik terhadap-Nya dan penghalang-halangan dari jalan-Nya, itu semua adalah lebih dahsyat, lebih besar dan lebih parah kerusakannya dari pembunuhan, oleh sebab itu Dia Ta’alaa berfirman : “Dan fitnah itu labih dahsyat dari pembunuhan.” . Abul Aliyah, Mujahid Said Ibnu Jubair, Ikrimah, Hasan, Qotadah, Adh Dhahhak dan Ar Rabiy Ibnu Annas berkata mengenai firman-Nya Ta’alaa: “Dan fitnah itu lebih dahsyat dari pembunuhan” dengan ucapan: “Syirik itu lebih dahsyat dari pembunuhan.”

Dan di antaranya: “Bahwa pajak duduk-duduk meninggalkan jihad terhadap thaghut yang dhalim itu adalah jauh lebih besar dari pada pajak menjihadi mereka dan khuruj (keluar/menentang/memerangi) terhadap mereka; dan itu dengan kesaksian nushush (nash-nash) syar’iyyah yang menyatakan al haq yang muthlaq dengan kesaksian realita yang membenarkan nash-nash itu.

Adapun kesaksian nushush di samping apa yang telah lalu, maka Allah Ta’alaa berfirman:

“Jika kamu tidak berangkat untuk berperang (berjihad), niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan digantiNya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudhorotan kepadaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Taubah: 39)

Dan di dalam hadits sungguh telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad melainkan Allah meratakan ‘adzab terhadap mereka.” (HR. Ath Thabrani, As Silsilah Ash Shahihah: 2663)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bila kalian jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian mengikuti ekor sapi dan kalian rela dengan pertanian serta kalian meninggalkan jihad, maka Allah kuasakan atas kalian kehinaan yang tidak akan Allah angkat sampai kalian kembali kepada dien kalian.” (HR. Abu Dawud dll, As Silsilah Ash Shahihah: 11)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang tidak berperang atau tidak menyiapkan orang yang berperang atau tidak menggantikan orang yang berperang di tengah keluarganya dengan baik maka Allah menimpakan goncangan (bencana) sebelum hari kiamat.” (Shahih Sunan Abu Dawud: 2185)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hampir saja saatnya umat-umat mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang yang makan mengerumuni nampan makannya”, seseorang berkata: “apakah karena jumlah kami sedikit saat itu?” Maka beliau berkata: “Bahkan justru kalian saat itu adalah banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan sungguh Allah akan mencabut dari dada-dada musuh kalian rasa takut dari kalian dan Dia sungguh akan mencampakkan wahn ke dalam hati kalian.” Maka orang itu bertanya: “Apakah wahn itu wahai Rasulullah?”, Beliau berkata: “Cinta dunia dan benci mati.” (HR Abu Dawud dll. Silsilah Ash Shahihah: 958)

Ini adalah kesaksian nushush syar’iyyah…. Adapun kesaksian realita maka silakan utarakan dengan leluasa. Suatu bangsa, saat cenderung kepada thaghut yang dzalim dan ia meninggalkan jihad terhadap mereka dan menahan tangan mereka, maka ia akan mempersembahkan segala yang berharga dan yang mahal. Ia akan persembahkan dien, kehormatan, anak, tanah air, harta, harga diri serta segala apa yang dia miliki, sedangkan thaghut menginginkan dari mereka tambahan dan tambahan, dan ia tidak akan rela atau merasa puas kecuali setelah engkau –hai muslim- melepaskan segala apa yang kau miliki, dan kamu masuk dalam peribadatan kepadanya dan ketaatan terhadapnya dengan segala makna yang masuk dalam peribadatan dan ketaatan yang buta!

Ini adalah pajak akibat cenderung kepada dunia dan pajak akibat berpaling dari menjihadi para thaghut. Adapun pajak jihad, bagaimanapun besarnya maka ia bisa berupa kemenangan (ghanimah) dan bisa berupa syahadah, sedangkan keduanya adalah kemenangan, kejayaan, dan kemuliaan andai kalian mengetahui!

Bila dikatakan –dan memang telah dikatakan- lihatlah hasil-hasil yang buruk di sebagian negeri yang terjadi jihad di dalamnya dan pemberontakan terhadap para thaghut hukum, dan kerusakan-kerusakan yang terjadi terhadap negeri dan manusia di sana, maka bagaimana kita menyelaraskan antara hal itu dengan ucapanmu yang lalu?!

Saya katakan: Banyak di antara kerusakan-kerusakan yang tadi diisyaratkan di negeri-negeri itu bukanlah muaranya pada prinsip al jihad fie sabiilillah atau pada prinsip pemberontakan terhadap para thaghut hukum dan kekafiran –sebagaimana yang digambarkan sebagian orang!- akan tetapi muaranya pada jiwa-jiwa kita yang selalu memerintahkan kepada keburukan. Dan saya akan meringkas sebab-sebab yang menghantarkan kepada keterpurukan yang telah terjerumus ke dalamnya sebagian harakah jihadiyyah mu’ashirah (gerakan jihad masa kini) dalam poin-poin berikut ini:

(1) Tergesa-gesa dalam berbuat sebelum pemenuhan I’dad yang semestinya, sedangkan siapa yang memetik sesuatu sebelum waktunya maka ia diberi sangsi dengan keterhalangan dari mendapatkannya (dari mendapatkan hasil buahnya yang bagus)!

(2) Memperluas lingkaran oprasi melebihi dari kemampuan dan prasarana para mujahidin, sehingga pecahlah kemampuan mereka dan kekuatannya terhadap bidang-bidang yang banyak dan beraneka ragam, yang padahal semestinya ia terfokus pada bidang yang paling penting!

(3) Buruknya perhitungan terhadap kekuatan jahiliyyah masa kini dan yang mengitari mereka, serta menyikapinya dengan jiwa yang menerima apa adanya lagi tidak berupaya!

(4) Pemahaman-pemahaman dan pemikiran-pemikiran yang keliru yang muncul terhadap ‘amal jihadi sehingga menyebabkan penyimpangan, ketergelinciran dan kesesatan!

(5) Perilaku-perilaku yang salah, terutama jika prilaku-prilaku ini muncul dari ushul (dasar/asasiyah) dan pemahaman-pemahaman yang batil, seperti ushul Khawarij yang ghuluw (ekstrim/berlebihan kelewatan)..!

(6) Koalisi-koalisi yang kotor bersama pihak-pihak yang kotor dan penuh ranjau jebakan –dan sebagiannya pihak-pihak kafir murtad- gegabah di atas prinsip MUSUH BAGI MUSUHKU ADALAH KAWANKU, sehingga itu berimbas negative terhadap hasil-hasil amal jihadiy dengan keseluruhan terutama pada fase memetik hasil!

(7) Jama’ah yang beregerak ini baik pimpinan dan anggota-anggotanya tidak pada tingkat akhlaq dan prinsip-prinsip Islam ideal pada kebanyakannya, tidak pula pada tingkat al jihad fi sabiilillah, dan tidak pula pada tingkat yang dengan sebabnya turun pertolongan Allah kepada jama’ah hamba-Nya yang berjihad itu.

(8) Berpalingnya mayoritas kaum muslimin dari membantu dan mendukung para mujahidin, dan merasa cukup dengan sikap penonton yang tidak peduli. Dan ini kembali pada banyak sebab, di antaranya:

- Kebodohan mereka terhadap tabi’at peperangan dan terhadap ciri musuh.

- Kejahilan mereka akan hukum-hukum Islam dan apa yang menjadi kewajiban mereka secara syar’iy

- Rasa takut

- Penggembosan para penebar isu negatif, terutama di antaranya syaikh-syaikh busuk yang mementingkan untuk berbaring di pangkuan para thaghut dan berdiri di barisan mereka, serta pengaruh mereka yang amat besar di tengah orang-orang yang awam.

- Perselisihan fiqih yang merebak di tengah jama’ah-jama’ah dan pihak-pihak tertentu dalam pengedepanan hal-hal yang penting, di mana sebagian kelompok maju dan yang lain mundur, sehingga akhirnya timbul hasil-hasil yang buruk yang tidak kita cintai dan tidak kita inginkan.

- Merasa cukupnya sebagian kelompok yang berjuang dengan prinsip pencukupan dengan sekedar mengawasi dan menunggu supaya ia bisa melihat siapa yang menang dan siapa yang unggul, sedang ia pada akhirnya selalu bersama yang menang –agar ikut dapat ghanimah dan memetik hasil- walaupun yang menang itu adalah thaghut yang murtad!!

Ini adalah global sebab-sebab yang menghantarkan –biasanya- pada kegagalan sebagian harakat jihadiyyah masa kini dan (yang menghantarkan) pada pengaruh-pengaruh dan praktek-praktek negative yang keliru yang kita lihat pada realita kita masa kini, dan yang tidak kita ridlai dan yang tidak diakui oleh akal dan agama!!

Dan atas dasar ini, tergolong dhalim dan aniaya bila kita memikulkan pengaruh-pengaruh kekeliruan kita, penyimpangan kita, dan keteledoran kita kepada prinsip al jihad fi sabiilillah dan kita mengatakan ini adalah pengaruh-pengaruh dan imbas-imbas jihad, dan kita tidak mengatakan ini adalah pengaruh-pengaruh dan imbas-imbas kekeliruan kita dan hawa nafsu kita dan penyimpangan kita dari manhaj Rabbany yang Shahih serta penyakit-penyakit yang beraneka ragam yang bersarang dalam jiwa kita yang selalu memerintahkan kepada keburukan….!

Allah Ta’alaa berfirman:

“Dan mengapa kamu ketika ditimpa musibah, padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu kamu berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri!”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 165)

* SYUBHAT KEDUA

Yaitu ucapan mereka bahwa pilihan khuruj terhadap penguasa dan kekuatannya -meskipun mereka itu adalah kuffar murtaddin- adalah pilihan yang tidak maju dan tidak manusiawi, dan memungkinkan untuk diganti dengan cara-cara yang maju yang lain, seperti cara demokrasi, atau pemilu dan kotak-kotak suara atau demonstrasi yang damai dan yang lainnya. Ini adalah ucapan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tampil berjuang untuk dien ini !!

Syubhat yang batil ini saya jawab dengan poin-poin berikut ini:

Pertama

Ucapan ini adalah ucapan kekafiran, karena maknanya bahwa jalan syar’iy yang telah Allah Ta’alaa perintahkan, yaitu jihad dan khuruj (keluar menentang/memberontak) terhadap para thaghut kafir dan murtad, adalah jalan yang tidak maju dan tidak bermutu, dan bahwa di sana ada cara-cara lain yang lebih maju, lebih bermutu dan lebih bermanfaat darinya. Inilah makna ucapan kalian, dan inilah kekafiran yang nyata karena berisi celaan terhadap Allah subhanahu wa ta'ala dan pengedepanan ajaran sistem makhluq atas ajaran Allah Ta’alaa…!

Ke dua

Usulan ini tidak realistis, dan justru lebih dekat pada khayalan, terutama bila pengganti dari si pemimpin atau pemerintah kafir yang berkuasa ini adalah Islam! Karena orang-orang kafir itu mati-matian dalam pembunuhan dan peperangan dan mereka tidak peduli menempuh setiap jalan walaupun itu busuk dan hina, yang penting mereka bisa menghalang-halangi kaum muslimin dari proyek besarnya yang islamiy dan dari tujuan mereka dalam memaksa manusia mencabut diri dari penghambaan diri kepada sesama makhluq untuk menghambakan diri kepada Allah pencipta makhluq!

Inilah ayat-ayat Allah berbicara itu:

“Dan tidak akan pernah berhenti mereka selalu memerangi kalian sampai dapat memurtadkan kalian dari dien kalian bila mereka mampu.” (QS. Al Baqarah: 217).

Dan firman-Nya Ta’alaa:

“Bagaimana bisa (ada perjanjian damai dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang –orang musyrik), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak pula (mengindahkan perjanjian).” (QS. At Taubah: 8).

Dan firman-Nya:

“Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela terhadap kamu sampai kamu mengikuti millah mereka” (QS. Al Baqarah: 120).

Inilah realita yang tampak…. Datangkan kepada saya satu negeri dari negeri-negeri kaum muslimin yang mana di dalamnya kaum muslimin mampu memulai kehidupan mereka yang Islami di tingkat pemerintahan dan rakyat…di tingkat politik dalam dan luar negeri lewat jalur kotak-kotak saran dan jalan-jalan pincang lainnya!!!

Bukankah demokrasi mereka telah berubah menjadi kediktatoran yang tampak… dan tank-tank mereka turun ke jalan raya –dengan restu PBB dan negara-negara yang dhalim dan sombong di dunia- karena sekedar ada gelagat Islam mau merebut kekuasaan dari dekat?!!

Ke tiga

Pilihan ini, yaitu pilihan memberontak terhadap penguasa dengan kekuatan adalah pilihan seluruh bangsa dan umat saat hal-hal baku pada mereka menghadapi bahaya atau perubahan dan penggantian oleh sejumlah orang yang vocal yang mau mengkudeta…!

Bayangkan andai saja Amerika atau Perancis atau negara-negara lainnya terjadi di dalamnya kudeta militer oleh sejumlah aparat militer, terus mereka berupaya untuk merubah hal-hal baku yang umum yang menjadi pondasi dan pilar negara-negara itu, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak mau mendengar suara akal atau mayoritas, atau suara kotak-kotak saran, kemudian mereka tidak mau melepaskan kekuasaannya dan tidak menyisakan bagi rakyatnya kecuali pilihan perlawanan, maka apa yang akan terjadi di negara itu, apa engkau melihat mereka akan menerima begitu saja terhadap realita dan pemerintahan segelintir orang itu, atau justru mereka itu akan menghadangnya walau dengan kekuatan senjata??!!!

Sesungguhnya termasuk hal pasti atas masyarakat negara-negara itu, mereka keluar menenteng senjata untuk memerangi orang-orang yang melampaui batas terhadap hal-hal baku dan prinsip-prinsip mereka yang umum, sampai keadaan kembali pada kondisi semula dan pada alurnya yang baku lagi biasa,,,!!

Dan pertanyaan: Bila hal ini boleh bagi mereka dan masyarakatnya, dan bahkan ia adalah salah satu hak mereka, maka mengapa hal itu diharamkan atas kami kaum muslimin saat ada yang lancang terhadap dien kami, tanah air kami dan hal-hal baku kami yang luas yang mana umat ini tidak akan muncul/bangkit –bahkan tidak akan ada- kecuali dengannya …??!

Kenapa saat masyarakat itu mengambil hak ini adalah disebut sebagai kemajuan, dan modern, dan kewajiban terhadap tanah air, dan manusiawi serta pujian-2 lainnya; sedangkan bila kaum muslimin yang mengambilnya (menggunakan hak tersebut) maka disebut sebagai terror, keterbelakangan, perbuatan tidak maju dan tidak modern serta celaan dan hinaan lainnya ??!!

(2) PENGUASA MUSLIM YANG ADIL

Pembahasan dari rincian yang lalu adalah khusus untuk pemimpin kafir yang kekafirannya nyata. Adapun pembahasan tentang pemimpin muslim yang adil dan cara berinteraksi bersamanya, maka ia adalah gambaran lain yang berbeda sangat jauh dengan apa yang telah lalu penuturan dan penjelasannya.

Dan atas dasar ini, saya katakan:

Pemimpinn/penguasa muslim yang adil adalah pemimpin yang mengayomi negeri dan masyarakat -yang Allah amanahkan urusannya kepada dia dalam segala perkara dan bidang-bidang kehidupan- dengan Islam dan dengan ajaran-ajaran Islam, dan pada tingkat komitmen pribadi dia itu menegakkan kewajiban dan rukun-rukun dien ini lagi menjauhi dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.

Pemimpin yang sifat dan keadaannya seperti ini wajib ditaati dalam hal yang ma’ruf, dalam kondisi semangat maupun malas, dan wajib mendukungnya, mengokohkannya dan menasehatinya lahir batin, sebagaimana wajib mengagungkannya dan menghormatinya, membelanya dan lemah lembut dalam menasehatinya selama masih ada jalan ke arah sana, sebagaimana haram menipunya dan memperdayanya atau mempermalukannya atau mengganggu dia dan pemerintahannya dengan ucapan buruk atau sesuatu yang bisa mencorengnya.

Allah Ta’alaa berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(nya) dan ulil amri dari kalian, kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Dan ucapan-Nya “dan ulil amri”, mereka, menurut pendapat yang rajih (kuat) dari ucapan para mufassirin (ahli tafsir Al Qur’an) adalah ‘ULAMA (ahli ilmu dien) dan UMARA (para amir/para jajaran pemimpin)

Dan firman-Nya: “dari kalian” memberikan faidah pembatasan ketaatan kepada para umaro yang berasal dari kalian, yaitu dari kalangan pemilik dien, millah dan aqidah kalian, (yaitu para pemimpin Islam atau PARA PEMIMPIN YANG MUKMIN). Sedangkan orang yang selain itu maka ia bukan “dari kalian” dan tidak wajib atas kalian untuk mentaatinya, (bahkan haram kalian mentaatinya –ed)

Dan dalam hadits telah Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Meskipun yang memimpin kalian budak yang buntung yang menggiring kalian dengan kitabullah, maka dengarkanlah dia dan taatilah” (HR. Muslim)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mencopot tangan dari ketaatan maka dia bertemu dengan Allah di hari kiamat sedang ia tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada bai’at maka ia mati dengan (seperti) mati jahiliyyah.”[1] (HR. Muslim)

Dan berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya orang yang mendengar lagi taat adalah tidak ada hujjah atasnya, dan sesungguhnya orang yang mendengar lagi durhaka adalah tidak ada hujjah baginya” [2]

Dan berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah terus dia mati maka dia mati dengan mati jahiliyyah” (HR. Muslim)

Dan berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bagi setiap orang yang berkhianat itu ada panji di hari kiamat yang dipasang tinggi baginya sesuai kadar pengkhianatannya, ketahuilah, tidak ada orang khianat yang lebih besar dari pada amir umum” (HR. Muslim), yaitu orang yang khianat kepada Amir ‘Aam atau amir umum atau Khalifah Muslim.

Dan berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dien itu nasehat (ketulusan)”, kami berkata: “nasehat untuk/kepada siapa?” Beliau menjawab: “Kepada Allah, Kitab-Nya, RasulN-ya dan para imam kaum muslimin dan kalangan umum mereka.” (HR. Muslim)

Dan berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tiga hal yang hati orang mukmin tidak dengki terhadapnya: Ikhlas beramal karena Allah, nasehat kepada pemimpin, dan komitmen pada jama’ah mereka, karena doa mereka meliputinya.”[3]

Dan berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang ingin menasehati pemimpin maka jangan menampakkannya terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia membawanya ke tempat yang tidak ada orang lain, kemudian bila ia menerima darinya maka itulah kebaikan, dan bila tidak maka ia telah menunaikan kewajiban”[4]

Dan sabdabya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian, janganlah menipu mereka, dan janganlah membenci mereka, dan bertaqwalah kepada Allah serta sabarlah karena urusan ini dekat” [5]

Dan berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang menghina Sulthan Allah, maka Allah akan menghinakannya.”[6]

Dan berkata shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Siapa yang mengagungkan Sulthan Allah maka Allah akan mengagungkan dia di hari kiamat.”[7]

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lima hal yang siapa melakukan satu darinya maka ia dapat jaminan Allah, “di antaranya” orang yang menghadap pemimpinnya sambil ingin mengagungkan dan memuliakannya.”[8]

Dan nash-nash lainnya yang mengharuskan taat pada Imam Muslim dengan baik dan dengan memuliakannya, menasehatinya dan tidak khianat terhadapnya atau mengganggunya dengan sesuatu yang mencoreng.

* Taat yang dibatasi, bukan muthlaq:

Bila ada yang bertanya: Apakah taat kepada pemimpin atau penguasa muslim itu adalah taat yang muthlaq ataukah taat yang dibatasi…?

Jawaban atas hal itu: Bahwa ia adalah taat yang dibatasi dengan hal-hal yang ma’ruf, dan dengan sesuatu yang mengandung ketaatan kepada Allah Ta’alaa dan ketaatan kepada RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila ia memerintahkan kepada maksiat atau hal kebatilan maka tidak ada taat kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mendengar dan taat wajib atas orang muslim dalam apa yang ia cintai dan apa yang ia benci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat, kemudian bila ia diperintahkan untuk maksiat maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan taat.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, karena taat itu hanya dalam hal yang baik.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang memerintahkan kalian dari kalangan penguasa terhadap maksiat maka jangan kalian taati.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, As Silsilah Ash Shahihah: 2324)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Taat kepada imam adalah kewajiban orang muslim, selama ia tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah Ta’alaa, dan bila ia memerintahkan untuk maksiat kepada Allah maka tidak ada ketaatan kepadanya.” (As Silsilah Ash Shahihah : 752)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam maksiat kepada Al Khaliq.” (Misykatul Mashabih, diShahihkan Al Albaniy dalam takhrijnya : 3696)

Dan alasan yang menghalangi dari mentaatinya dengan ketaatan yang muthlaq adalah bahwa dia –dan setiap orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- kadang keliru dan benar, kadang diambil ucapan darinya dan kadang ditolak, dan oleh sebab itu tidak boleh mengikutinya atau mentaatinya dalam kesalahannya dan dalam apa yang menyelisihi al haq.

Dan dari sisi lain, sesungguhnya yang ditaati karena dzatnya dengan ketaatan yang muthlaq hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala saja, sedangkan yang selainNya tidaklah ditaati karena dzatnya akan tetapi ia ditaati karena Allah dan di jalanNya Ta’ala dalam apa yang sejalan dengan al haq. Dan siapa yang ditaati karena dzatnya (sosoknya) maka dia telah dijadikan tandingan bagi Allah Ta’alaa dan diibadati selain Allah subhanahu wa ta’ala serta diserupakan dengan sifat Allah Ta’alaa yang paling khusus.

Ini berbeda dengan sistem-sistem buatan manusia yang berkuasa sekarang di bumi, sama saja baik diktator maupun demokrasi, karena seluruh sistem-sistem produk bumi ini mengharuskan manusia untuk taat kepada penguasa yang membuat hukum dan undang-undang serta aturan-aturan yang muncul darinya –tanpa melihat keselarasannya ataupun penyelisihannya terhadap al haq, dan benar atau salahnya- baik si penguasa yang membuat hukum ini tercermin pada sosok pemimpin atau pada kumpulan para anggota majelis perwakilan yang mendapat wewenang pembuatan hukum dan perundang-undangan!!!

Yaitu bahwa seluruh sistem produk bumi –dengan berbagai ragam, nama dan simbol-simbolnya- ini mengupayakan penghambaan manusia terhadap sesama manusia, dari sisi taat kepada makhluq secara muthlaq terhadap apa yang ia gulirkan kepada mereka, walaupun sistem-sistem ini berpura-pura menampakkan kebebasan atau mengklaim bahwa ia berjuang demi kemerdekaan manusia!!

* Hukum orang yang membangkang lagi memberontak terhadapnya:

Bila ada orang sengaja memberontak terhadapnya dan menyainginya terhadap kekuasaan dan pemerintahannya maka wajib atas umat untuk menghalanginya, dan bila dia menolak berhenti kecuali dengan perang atas hal itu maka diperangilah dia bersama yang menyertainya, sebagaimana dalam hadits : “Siapa yang membai’at imam terus dia memberikan kesetiaannya kepadanya dan ketulusannya, maka hendaklah dia mentaatinya bila dia mampu, kemudian bila datang yang lain menyainginya maka penggalah leher orang lain ini.” (HR. Muslim)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bila dibai’at bagi dua khilafah maka bunuhlah yang akhir di antara keduanya.” (HR. Muslim)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang datang kepada kalian sedangkan urusan kalian satu di atas seorang laki-laki, ingin memecah kepemimpinan kalian atau memecah belah jama’ah kalian maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya akan terjadi kekacauan dan kekacauan, siapa orang yang ingin memecah belah urusan umat ini sedangkan mereka itu bersatu di atas seorang laki-laki maka penggallah dengan pedang siapapun dia.” (HR. Muslim)

Kemudian bila ada pertanyaan: Atas alasan atau status apa para pembangkang itu diperangi??

Maka saya katakan: “Bila pembangkangan mereka terhadap pemimpin muslim itu karena syubhat dieniyyah –seperti syubhat Khawarij tatkala keluar memberontak terhadap Ali Ibnu Abi Thalib radliyallahu ‘anhu- maka mereka diperangi atas dasar bahwa mereka itu bughat yang aniaya…!

Bila penyerangan dan pemberontakan mereka terhadapnya karena sekedar keinginan mendapatkan kekuasaan dan memegang kendali pemerintahan dan posisi maka mereka diperangi atas dasar bahwa mereka itu perusak, statusnya sama seperti para pembegal, wallahu a’lam…

Bila penyerangan dan pemberontakan mereka terhadapnya karena dien dan Islam si pemimpin ini serta karena keistiqamahan, komitmen serta penerapannya akan hukum-hukum Islam, maka mereka diperangi atas dasar bahwa mereka itu orang-orang zindiq lagi murtaddun seperti qital Abu Bakarr radliyallahu ‘anhu dan para sahabat yang bersamanya terhadap Musailamah Al Kadzdzab dan kaum murtaddun yang bersamanya.

* Tanbih:

Sebagaimana syaikh-syaikh masa kini telah sengaja –karena takut atau ingin dunia- menerapkan nash-nash dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pemimpin muslim yang adil terhadap penguasa yang kafir dan terhadap para thaghut kafir dan murtad yang ada masa sekarang yang wajib dijihadi, diperangi dan diberontak dengan nash dan ijma’ sebagaimana telah lalu bahasan tentang pemimpin kafir…!

Dengan hal itu para syaikh itu menteror kaum muslimin yang awam dan menggambarkan di hadapan mereka bahwa orang yang berfikir –apalagi yang berbuat dan berupaya- untuk memberontak kepada para thaghut hukum itu telah terjatuh –dan mesti!- pada hukum-hukum yang telah disebutkan berupa penyelisihan terhadap nash-nash syar’iyyah yang banyak yang memiliki kaitan dengan pemimpin muslim yang adil, dan sebagiannya telah disebutkan!

Dan di antara syaikh itu ada yang tidak segan-segan mengkiyaskan keadaan para thaghut itu terhadap Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu, dan mereka mengkiyaskan orang yang memberontak kepada para thaghut itu terhadap Khawarij yang memberontak terhadap Ali radliyallahu ‘anhu…!!

Maka ini termasuk penipuan, penyesatan dan dusta atas nama Allah dan RasulNya sehingga wajib atas setiap muslim yang memiliki ghirah terhadap dienullah dan terhadap aturan-aturan-Nya untuk hati-hati terhadap dienNya, dirinya, ikhwannya dan umatnya dari kebusukan dan penyesatan para syaikh itu bagaimanapun melejit ketenaran mereka dan dunia mengenal namanya!

(3) PEMIMPIN MUSLIM YANG FASIQ

Pemimpin muslim yang fasiq: adalah pemimpin yang mengayomi dengan Islam dan ajaran-ajarannya, -dan ia berbeda dengan pemimpin muslim yang adil- yaitu bahwa nampak darinya sebagian penyimpangan syar’iyyah pada tingkat perilaku pribadi atau umum yang memasukkan dia dalam lingkaran kefasiqan yang di bawah kufur akbar.

Hukum asal pada pemimpin yang fasiq adalah tidak diangkat menjadi pemimpin secara sukarela dari pihak umat, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh anak manusia”, Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Baqarah: 124)

Al Qurthubiy berkata dalam tafsirnya 2/108: Ibnu Abbas berkata: “Ibrohim ‘alayhi salam meminta untuk dijadikan dari keturunannya sebagai imam, maka Allah memberitahunya bahwa di tengah keturunannya ada orang yang maksiat, maka Dia berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dhalim.”

Al Qurthubiy berkata: “Sejumlah ‘ulama berdalil dengan ayat ini bahwa pemimpin itu (mesti) dari kalangan orang-orang yang adil, baik dan utama disertai kuat untuk mengemban (tugas) itu, dan dialah orang yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mereka tidak merampas kepemimpinan dari pemegangnya. Adapun orang-orang fasiq, aniaya dan dhalim maka mereka itu bukan orang-orang yang memiliki kelayakan untuknya berdasarkan firmanNya “janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang dhalim.”

Dan berkata 1/270: “Tidak ada perbedaan di antar umat bahwa tidak boleh kepemimpinan itu disandangkan kepada orang fasiq…”, selesai.

Akan tetapi seandainya ia mengkudeta dan memaksakan umat atas kekuasaan dan pemerintahannya, atau muncul kefasiqan setelah dia menjabat atas wewenang umat, apakah umat boleh menyingkirkannya dan memberontak terhadapnya dengan kekuatan senjata…?

Saya katakan: “Pendapat yang rojih adalah tidak boleh merebut kekuasaan dan pemerintahannya demi menghindari terjadinya banyak kerusakan dan bahaya yang timbul dari akibat khuruj, yang lebih dahsyat dan lebih tinggi dari pada sabar terhadapnya walau nampak darinya kefasiqan atau penyimpangan. Inilah yang ditunjukkan oleh nash-nash syari’at dan yang menjadi keyakinan baku Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma., berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat dari amirnya sesuatu yang dibenci maka hendaklah sabar terhadapnya, karena sesungguhnya siapa yang meninggalkan jama’ah sejengkal terus dia mati maka dan mati dengan mati jahiliyyah!! Muttafaq ‘alaih.

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Sesungguhnya kalian setelah (kepergian)ku akan melihat sikap pementingan pribadi dan hal-hal yang kalian ingkari,” Mereka berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Tunaikan kepada mereka hak mereka, dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (HR. Al Bukhari)

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bariy 13/7: “Ibnu Bathal berkata: Dalam hadits ini ada hujjah dalam sikap meninggalkan khuruj terhadap penguasa walaupun ia aniaya, dan para fuqoha telah ijma’ atas wajibnya mentaati penguasa yang berhasil merebut kekuasaan dan berjihad bersamanya, serta bahwa mentaatinya adalah lebih baik dari pada khuruj terhadapnya, karena dalam sikap itu terdapat penjagaan pertumpahan darah dan meredam kekacauan, sedangkan hujjah mereka adalah khabar ini dan khabar lain yang menguatkannya, dan mereka tidak mengecualikan dari hal itu kecuali bila muncul dari si pemimpin itu kekafiran yang nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam keadaan itu, akan tetapi wajib menjihadinya bagi orang yang mampu akan hal itu.”

Dari Hudzaifah Ibnu Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kamu mendengar dan mentaati amir walaupun dipukul punggungmu dan hartamu diambil, maka dengarlah dan taatlah.” (HR. Muslim)

Dan dari Salamah Ibnu Yazid Al Ja’fiy, bahasa ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Nabi Allah bagaimana bila memimpin kami para amir yang meminta hak mereka dan mereka menahan hak kami, apa yang Engkau perintahkan? Maka beliau berpaling darinya, kemudian ia bertanya lagi maka beliau pun berpaling darinya, kemudian dia bertanya yang ketiga kalinya, maka ia ditarik oleh Al Asy’ats Ibnu Qois, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dengarlah dan taatlah, karena atas mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan atas kalian apa yang dipikulkan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah, siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin terus ia melihatnya melakukan suatu dari maksiat kepada Allah, maka hendaklah ia membenci maksiat yang dilakukannya dan janganlah mencabut tangan dari ketaatan.” (HR.Muslim)

Dan potongan dari hadits Nabi kepada Hudzaifah Ibnu al Yaman radliyallahu ‘anhu, barsabda: “Akan ada perdamaian di atas dukhan (asap), kemudian para penyeru kesesatan”, beliau berkata: Bila kamu saat itu melihat ada kholifah di bumi ini maka pegang teguhlah kepadanya, walaupun ia melukai badanmu dan mengambil hartamu, dan bila kamu tidak melihatnya ada maka kaburlah di muka bumi, walaupun kamu mati sedang kamu menggigit akar pohon.” (HR. Abu Dawud, As Silsilah ash Shahihah: 791)

Dan dari Ubadah Ibnu Ash Shamit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Dengarlah dan taatlah dalam situasi sulitmu dan situasi mudahmu, (dalam) keadaan giatmu dan ketidaksukaanmu, serta penelantaranmu, walau mereka makan hartamu dan memukul punggungmu”, (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, dan diShahihkan Al Albaniy dalam takhrijnya: 1074)

Dan dari Nafi’, berkata: “Tatkala penduduk Madinah mencopot Yazid Ibnu Mu’awiyah, maka Ibnu Umar mengumpulkan isteri-isteri dan anak-anaknya, terus berkata: saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bagi setiap pengkhianat dipasangkan panji di hari kiamat.” Dan sesungguhnya kita telah membai’at orang ini di atas bai’at Allah dan RasulNya, dan saya tidak mengetahui sikap khianat yang lebih besar dari keadaan seseorang dibai’at di atas bai’at Allah dan RasulNya kemudian ia malah diperangi, sesungguhnya saya tidak mengetahui seorangpun di antara kalian mencopotnya dan tidak (pula) membai’at(nya) dalam hal ini melainkan terjadi penentuan antara aku dengan dia.” (HR. Al Bukhari)

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari’: dalam hadits ini terdapat kewajiban mentaati iman yang telah dibai’at dan larangan dari khuruj terhadapnya walaupun dia aniaya dalam pemerintahannya, dan bahwa ia tidak menjadi copot dengan sebab fasiq.

An-Nawawi berkata dalam Sharah Muslim 12/229: “Adapun khuruj terhadap mereka (yaitu para imam) dan memeranginya maka ia haram dengan ijma’ muslimin meskipun ia fasiq dan zalim.” Dan hadits-hadits telah banyak tentang makna yang saya sebutkan ini, dan ahlu sunnah telah berijma’ bahwa pemimpin tidak boleh dicopot dengan sebab fasiq. Dan para ulama berkata: “Dan sebab tidak dicopotnya dia dan haramnya khuruj terhadapnya adalah akibat yang ditimbulkan olehnya berupa kekacauan, pertumpahan darah, dan rusaknya hubungan sehingga mafsadah dalam pencopotannya adalah lebih besar dari keberlangsungannya”.

Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa 14/472: “Tidak boleh mengingkari hal munkar dengan suatu yang lebih munkar darinya, oleh sebab itu haram khuruj terhadap pemerintah dengan pedang dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, karena apa yang terjadi dengan sebab itu berupa pelanggaran yang haram dan peninggalan kewajiban adalah lebih besar dari apa yang terjadi dengan pelanggaran hal mungkar dan dosa,…dan para pemimpin itu tidak diperangi dengan sebab sekedar kefasiqan, meskipun seorang yang bisa dikuasai kadang dibunuh karena sebagian macam kefasiqkan, seperti zina dan yang lainnya. Bukanlah setiap suatu yang boleh dilakukan hukum bunuh didalamnya, adalah boleh para pemimpinnya diperangi karena sebab mereka melakukannya, karena kerusakan perang adalah lebih besar dari kerusakan dosa besar yang dilakukan waliyyul amri.’’

Saya berkata: Dan tidak khuruj terhadapnya tidaklah menghalangi dari memerintahkannya kepada hal yang baik dan melarangnya dari yang munkar, serta menjaharkan al haq di istananya dan di hadapannya setiap kali hajat dan dlarurat menuntut untuk itu. Ini adalah hal lain –dan Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkannya– sedangkan khuruj terhadapnya dengan kekuatan adalah hal lain pula.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian mau memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah kirimkan kepada kalian siksa dari-Nya terus kalian berdoa kepada-Nya namun Dia tidak mengijabah kalian.” (Shahih Sunan At Tirmidzi: 1762)

Dan bersabda shallallahu ‘alaihi wa sallam: “janganlah menghalangi seseorang rasa takut kepada manusia dari mengatakan kebenaran bila dia mengetahuinya, karena ia tidak mendekatkan dari ajal dan tidak menjauhkan dari rizqi.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah, As Silsilah Ash Shahihah: 168)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “penghulu para syuhada adalah Hamzah ibnu Abdil Muthallib dan orang yang berdiri dihadapan pemimpin yang aniaya terus dia memerintahkannya dan melarangnya, kemudian dia membunuhnya.” (HR. Al Hakim, As Silsilah As Shahihah: 491)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq dihadapan penguasa yang aniaya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah, As Silsilah Ash Shahihah: 491)

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam: “jihad yang paling Allah cintai adalah kalimat yang haq yang dikatakan kepada pemimpin yang aniaya.” (HR. Ahmad dan Ath Thabrany, Shahihul Jami’: 168)

Dari Ubadah ibnu Ash Shamit berkata:” Kami telah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kebenaran di mana saja kami berada, kami tidak takut dijalan Allah celaan orang yang mencela.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan nash-nash syar’iyyah lainnya yang menganjurkan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar serta menjaharkan al haq dihadapan para penguasa aniaya, dan yang tercermin/menjelma pada realita kehidupan di As Salaf Ash Shalih dan sikap-sikap mereka yang mulia lagi berani juga tulus di hadapan para pemimpin dan penguasa yang zalim[9].

Karena ia bukan taat yang pasif tanpa amar ma’ruf dan nahyi munkar atau tanpa penjaharan akan al haq di hadapan orang-orang yang zhalim sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang, akan tetapi ia adalah ketaatan yang membimbing lagi bijaksana juga positif tanpa takluk, penghinaan diri dan tunduk kepada kebatilan atau takut dari dampratan orang-orang yang zhalim.

(4) PEMIMPIN MUSLIM YANG FASIQ, YANG ZHALIM, YANG AMAT FASIQ, AMAT ZHALIM, DAN AMAT BEJAT

Ia berbeda dengan pemimpin muslim yang fasiq, di mana ia sangat fasiq, sangat zhalim dan amat bejat, dan ia itu sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesungguhnya pemimpin yang paling buruk adalah al Huthomah” (HR. Muslim), yaitu pemimpin yang sangat jahat dan kejam terhadap rakyat….!

Akan tetapi kefasiqkannya, kezhalimannya, dan kebejatannya tidak sampai pada derajat kekafiran yang mengeluarkan dari Millah. Ini menurut pendapat yang rojih, berbeda hukumnya dengan pemimpin yang fasiq, yang lalu sekedar fasiq pribadi.

Saya katakan: “dalam keadaan seperti ini, saat umat ditimpa bencana pemimpin yang keadaan dan sifatnya seperti ini, maka wajib mencopotnya oleh umat yang tercermin pada Ahlul Halli Wal Aqdi (Dewan Syuro)”. Bila ia menolak mundur kecuali dengan perang, maka perlu dipertimbangkan dalam hal itu, bila ternyata perang dan khuruj terhadapnya lebih sedikit bahaya dan kerusakannya dari apa yang muncul darinya beurpa kezaliman, kejahatan dan kerusakan, maka wajib khuruj kepadanya mau tidak mau, dan bila tidak seperti itu – yaitu sebaliknya – maka hendaklah menahan diri dari khurujnya sebagai bentuk pengamalan hadits-hadits yang umum yang telah disebutkan yang memerintahkan untuk menahan diri dari khuruj terhadap pada pemimpin yang zhalim dan fasiq.

Bila dikatakan: “Kami telah mengetahui nash-nash yang menghalangi dari khuruj terhadap para pemimpin yang zhalim, maka apa dalil yang mengrukhsohkan khuruj terhadap mereka saat melakukan kezhaliman yang mugholladhoh sebagaimana yang telah lalu……?”

Saya berkata: Ini pertanyaan yang penting yang jawabannya saya ringkas dalam point-point berikut ini:

1. Di antara dalil-dalil yang mengharuskan khuruj terhadap penguasa macam ini adalah keumuman dalil-dalil dan nash-nash yang mengharuskan merubah kemunkaran dan perintah menarik orang-orang yang zhalim kepada al haq, siapa saja orang-orang zalim itu.

Abu Bakar As-Shiddiq radliyallahu ‘anhu berkata setelah memuji dan menyanjung Allah: “Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menempatkannya bukan pada tempatnya (jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk), dan sesungguh kami mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya manusia bila melihat orang zhalim, terus mereka tidak mengambil tangannya maka hampir Allah melimpahkan adzab kepada mereka.” Dan sesunggunya saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidaklah suatu kaum dilakukan maksiat di tengah mereka, kemudian mereka mampu untuk merubah terus mereka tidak merubah, melainkan hampir Allah menimpakan adzab terhadap mereka.” (Shahih Sunan Abu Dawud: 3644).

1. Pengamalan kaidah-kaidah fiqhiyyah yang memberikan faidah bahwa tidak telah mendatangkan bahaya dan membalas bahaya dengan bahaya….. dan bahwa bahaya itu dihilangkan….. dan pelenyapan yang lebih besar dengan bahaya yang lebih kecil…. dan pengedepanan mafsadah yang lebih besar untuk menolak yang lebih besar…… Kaidah-kaidah ini dan yang lainnya yang disimpulkan dari nash-nash syari’at seluruhnya mengharuskan umat untuk memilih khuruj terhadap penguasa macam ini sesuai dengan batasan dan syarat yang disebutkan.
2. Larangan para ulama dari khuruj terhadap para pemimpin fasiq bejat setelah dalam rangka menghadang mafsadah terbesar dengan mafsadah terkecil dan pengedepanan bahaya yang lebih kecil.

Sedangkan masalah kita ini sangat-sangat berbeda dengan apa yang dikatakan para ulama tentang orang-orang fasiq atau aniaya yang bersifat pribadi, di mana bahaya yang lebih kecil dan mafsadah yang lebih minimal di sini tersembunyi pada khuruj terhadapnya dengan mengkiyaskan terhadap mafsadah-mafsadah yang lebih besar yang muncul dari tetapnya keberadaan dia di posisi kepemimpinan itu.

Oleh sebab itu kita mendapatkan dalam keadaan seperti ini bahwa banyak dari para ulama tegas-tegasan menyatakan wajibnya khuruj terhadap pemimpin yang maqdur ’alaih (mampu dihadapi).

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 13/11: Ibnu At Tin telah menukil dari Ad Dawadiy, berkata: yang dipegang oleh para ulama tentang para penguasa yang aniaya sesungguhnya bila mampu mencopotnya tanpa fitnah (kekacauan) dan kezhaliman maka wajib, dan bila tidak maka yang wajib adalah sabar. Dan dari sebagian mereka (bahwa) tidak boleh menyandangkan jabatan kepemimpinan terhadap orang yang fasiq di awal mula (pengangkatan). Bila ia melakukan aniaya setelah sebelumnya ia adil maka mereka berselisih tentang kebolehan khuruj terhadapnya, sedangkan yang shahih adalah tidak bolah kecuali bila ia kafir maka wajib khuruj terhadapnya.”

Dan telah lalu ucapan Ibnu Taimiyyah, yaitu ungkapannya: “meskipun 32 orang bisa dikuasai kadang dibunuh karena sebagian macam kefasikan, seperti zina…….” beliau mensyaratkan qudroh (kemampuan menguasai)……. sedangkan di antara qudroh untuk melenyapkan kemunkaran padahal kemampuan untuk itu ada…!

Al Imam Al Juwarni berkata dalam Ushatul I’tiqad berkata: “Bila pemimpin bersikap aniaya dan nampak kezaliman dan kebejatannya dan ia tidak mengindahkan peringatan terhadap perbuatan buruknya, maka Ahlul halli wal ‘aqdi berhak untuk bermanfaat untuk melengserkan walau dengan pengharusan senjata dan peperangan.”

Saya berkata ini dibawa kepada keadaan bila khuruj dan pengharusan senjata terhadapnya lebih sedikit fitnah dan kerusakannya daripada kerusakan dan kebejakan yang ia tampilan, dan pertimbangan itu hak Ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan ulama dan para mujahid umat ini.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridlo berkata dalam kitab “Al Khilafah”: “Dan telah lalu tahqiq dalam masalah ini dan ucapan-ucapan para muhaqqiqin didalamnya: dan ringkasnya bahasa Ahlul halli wal ‘aqdi wajib atas mereka menanggulangi kezhaliman dan aniaya serta mengingkari para pelakunya dengan perbuatan dan pelenyapan pemimpin mereka yang aniaya walau dengan perang, bila telah tsabit menurut mereka bahasa maslahat dalam hal itu adalah yang kuat sedangkan mafsadah adalah yang lemah.”

Saya katakan: “Apa yang dikatakan di sana tentang pemimpin muslim yang adil tidaklah dikatakan pada pemimpin yang aniaya, bengis dan fasiq sungguh telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Para pemimpin kalian yang paling buruk adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka benci kepada kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Para sahabat bertanya: Kami berkata: “Wahai Rasulullah apa tidak kami perangi mereka saat itu? Beliau berkata: Tidak, selagi mereka mendirikan shalat di tengah kalian……” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dari khuruj terhadap mereka dan membangkangnya dengan senjata, dan beliau tidak melarang mereka dari melaknatnya dan membencinya, bahkan beliau mengangap pelaknatan kaum mu’minin terhadap mereka sebagai tanda bahwa mereka itu tergolong para pemimpin yang buruk!

Abu Ya’la telah menukil dalam Al Ahkam As-Sulthaniyyah hal 20 dari Imam Ahmad rahimahullah, ucapannya tentang Al Ma’mun: “Dan bencana apa yang lebih besar dari apa yang diada-adakan musuh Allah dan musuh Islam berupa mematikan sunnah….?!

Dan adalah beliau bila disebutkan Al Ma’mun berkata: “adalah ia tidak bisa dipercaya…..”

Dan begitu juga telah tsabit dari banyak salaf, celaan mereka terhadap Al Hajjaj yang pencapaiannya sebagai thogiyah……..dan ini semuanya menunjukkan bahwa tidak boleh memposisikan para penguasa yang durjana dan fasiq pada posisi para pemimpin yang shaleh lagi adil dan apa yang wajib buat mereka berupa pengagungnya, penghormatan dan pemulian, wallahu ta’ala a’lam.

Bila ada yang bertanya: “Kenapa tidak engkau katakan tentang pemimpin yang fasiq apa yang engkau katakan tentang pemimpin yang sangat fasiq, durjana dan zhalim, dari sisi kewajiban khuruj terhadapnya dengan kekuatan bila aman dari fitnah yang lebih besar dan ternyata khuruj terhadapnya lebih kecil bahayanya?!

Saya katakan: “yang menghalangi kami dari mengatakan hal itu adalah bahwa pengandai-andaian terjadinya hal itu adalah sekedar teoritis, khayalan dan tidak realistis, di mana kita tidak bisa membayangkan sikap khuruj terhadap pemimpin yang fasiq yang bersifat pribadi dengan kekuasaan terus khuruj ini dan apa-apa yang terjadi karena akibat itu lebih sedikit fitnahnya dan bahayanya dari kefasiqkan pribadi yang ditampakannya.

Al Jawainiy berkata dalam Ghiyatsul Umam hal. 102: “Andai kefasiqan yang disepakati mengharuskan tercopotnya di imam atau mencopotnya tentulah pembicaraan menyinggung seluruh perbuatan dan ucapan dengan berbagai sisi dan keadaanya, dan tentu tidak akan kosong zaman dari pembicaraan orang-orang yang membicarakan kefasiqkannya yang menuntut pencopotannya, dan tentu selamanya manusia akan gontok-gontokan di sepanjang waktu kepada perpecahan dan perselisihan dalam penafian dan penetapan, serta tidak akan tetap sesaatpun ketaatan terhadap imam.

Sampai ucapannya: “Dan telah kami tetapkan bahwa dalam upaya mencopotnya atau pencopotannya dengan sebab setiap kekeliruan adalah penolakan dan pengguguran akan kepemimpinan, pembabatan faidahnya dan pencabutan diri dari janji ketaatan.”

Pernyataan penting:

Untuk hal penting kami kembali mengingatkan dengan apa yang telah kami tuturkan sebelumnya, maka saya katakan: “Sesungguhnya nash-nash yang berhubungan dengan para pemimpin dan apa yang wajib bagi mereka serta apa yang wajib atas mereka…..dan bagaimana memperlakukan setiap macam dirinya adalah banyak sekali, dan ia karena banyak tidak bisa diutarakan dalam materi yang ringkas ini.

Dan sesungguhnya fiqh dan objektifitas menuntut penulis yang mencari al haq untuk menempatkan setiap nash pada tempatnya dan posisinya yang diinginkan syari’at dan menafsikan sesuai maksud Allah dan Rasul-Nya, sehingga apa yang dikatakan tentang pemimpin muslim yang adil tidak boleh dikatakan pada pemimpin yang kafir, dan tidak boleh dikatakan tentang pemimpin yang fasiq terhadap apa yang tidak mungkin dikatakan terhadap pemimpin yang sangat fasiq, bejat dan aniaya…!

Sebagaimana orang-orang yang ingin tampil mengkaji atau berfatwa dalam masalah yang penting lagi rentan ini, haruslah menguasai keseluruhan nash-nash yang berkaitan dengan masalah ini – ucapan para ulama tentangnya – dan mengamalkan keseluruhan tanpa membenturkannya satu sama lain atau mempertentangkan di antara nash-nash itu, atau menampakkan – karena sebab keterbatasan kemampuannya dan pemahamannya yang salah – ketidakjelasan dan kontradiksi diantara nash-nash, sebagaimana itu bisa didapatkan pada banyak para syaikh dan para penulis masa kini yang tampil ke depan untuk berbicara dan berfatwa dalam masalah yang penting ini….!

Dan mayoritas orang-orang yang keliru dan jatuh dalam fitnah atau tafrith dalam masalah ini adalah dengan sebab sikap mereka mengamalkan sebagian nash-nash tidak yang lainnya dan mereka mengambil sebagian nashash tidak yang lainnya, serta mereka mengetahui sebagiannya saja, sehingga terjatuhlah mereka dalam lobang ghuluw dan ifrath atau lubang kaku dan tafrith. Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.

Sampai di sini selesai tanbih ini, dan dengan selesainya ini berarti selesai pula materi-materi pembahasan yang penting lagi ringkas ini seraya mengharapkan penerimaan dari Allah Ta’ala, dan menjadikannya manfaat bagi negeri dan manusia. Sesungguhnya Dia Ta’ala Maha Mendengar Maha Dekat lagi Maha Memperkenankan.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penghulu kita dan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya serta para Sahabatnya.

Dan akhir seruan kami Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

18/1/1422 H

11/4/2001 M

Abdul Mun’im Mushthafa Halimah Abu Basher

www.abubaseer.com

Penerjemah berkata: Selesai diterjemah pada hari Selasa Siang 9/1/1427 H / 7/2/2006 M di LP Sukamiskin UB 30, semoga Allah mengampuni dan melindunginya dan keluarganya.

[1] Mati dengan mati jahiliyyah, yaitu mati seperti kematian orang jahiliyyah yang tidak mengenal imam dan tidak komitmen dengan ketaatan, dan bukan maksudnya ia mati kafir sebagaimana orang jahiliy mati di atas kekafiran…. Ingat ini!

[2] HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, diShahihkan Al Albaniy dalam takhrijnya 1056.

[3] Ibnu Abi “Ashim, diShahihkan Al Albaniy dalam takhrijnya : 1086

[4] Ahmad, Al Hakim dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, diShahihkan Al Albaniy : 1096

[5] Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, diShahihkan Al Albaniy dalam takhrijnya : 1015

[6] At Tirmidzi dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah, dihasankan Al Albaniy dalam takhrijnya : 1018

[7] Ath Thabraniy dll, Shahih Al Jami’ Ash Shaghir: 5951

[8] Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, diShahihkan Al Albaniy dalam takhrijnya: 1021

[9] Lihat Kitab “Al Islam Bainul Ulama Wal Hukkam” karya Abdul Aziz Al Badny, di dalamnya ia telah mengumpulkan jumlah banyak dari sikap-sikap indah lagi berani ulama-ulama kita yang baik para penguasa yang aniaya di zaman mereka.

Komentar

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer