Mengapa Pemerintah Indonesia Murtad?

Pertama: Indonesia membuat Undang-Undang Negara sendiri sebagai dasar hukum dan tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum.


===================================================



>>> Kedudukan Pancasila dalam negara RI:



Kegunaan dan penerapan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika selain memiliki fungsi utama sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Pancasila juga mendapat sebutan/predikat antara lain :

1. Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa, berarti Pancasila memberikan corak yang khas bagi bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila mungkin saja dimiliki bangsa-bangsa di dunia ini, tetapi kelima sila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

2. Sebagai tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil.

3. Sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, berarti Pancasila disetujui oleh wakil-wakil rakyat menjelang dan sesudah proklamasi. Disetujui karena digali dari nilai luhur budaya bangsa, sesuai dengan kepribadian bangsa dan telah teruji kebenarannya.

4. Sebagai idiologi nasional.

5. Sebagai sumber dari segala sumber hukum.



Dasar hukum Pancasila sebagai Dasar Negara adalah Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, sedang dasar hukum Pancasila sebagai sumber segala sumberhukum yang tertinggi adalah Tap MPR No. III/MPR/2000. [1]



Sedangkan bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 ialah sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,

2. Ketetapan MPR,

3. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

4. Peraturan Pemerintah,

5. Keputusan Presiden dan

6. Peraturan-peratiran lainnya seperti

Peraturan Menteri

Intruksi Menteri dan lain-lain.



Sesuai dengan sistim seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 adalah bentuk peraturan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber dari semua peraturan-Perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya. [2]



~~~ **** ~~~~



Dalil-dalil atas kufurnya adalah sebagai berikut:



Sesungguhnya nash-nash syari’at telah menunjukkan bahwa siapa yang menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar dan keluar dari milah, berdasarkan beberapa dalil berikut ini :





>>> 1. Di antaranya firman Allah :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيـــــلاً



"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di an-tara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [QS. An Nisa' :59].



Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan Rasul-Nya --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim--, "Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan Rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…" [3]



Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah Rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan " Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir". Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir." [4]



Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan, "Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata nakirah yaitu "perkara" dalam konteks syarat yaitu firman Allah "Jika kalian berselisih" yang menunjukkan keumuman (sehingga artinya menjadi segala perkara-pent.)…lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal, ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firman-Nya "Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir." [5]



Lalu apa yang dilakukan oleh para penguasa kita hari ini?

Apakah mereka setiap kali berselisih pendapat mereka selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah?

Ataukah mereka lebih mempercayai dan mentaati undang-undang yang mereka buat sendiri sesuai dengan kemauan mereka dan kadar kebodohan mereka. ?





>>> 2. Di antaranya juga adalah firman Allah:



أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا



"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." [QS. An Nisa' :60].



Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhukum dengan selain syari’at Allah. Ibnu Qayyim berkata, "Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghutnya setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah." [6]



Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya," Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata, "Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad." Si shahabat Anshar berkata, " Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka'ab bin Al Asyraf." Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur'an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini." [7]



Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi mengatakan, "Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling dan berhukum kepada selain Rasul shallallahu 'alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya." [8]



Lalu bagaimana dengan negara kita ?



Apakah setiap kali ada permasalahan atau yang lain mereka berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ?



Ataukah mereka kembali kepada hukum yang mereka buat sendiri.



Jawabannya jelas dan kesimpulannya pun sangat jelas.





>>> 3. Di antaranya juga adalah firman Allah;



فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا



"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [QS. An Nisa': 65].



Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan Syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan ada-tu nafyi dan dengan sumpah. [9]



Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya," Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin." [10]



Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :

“Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehing-ga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, na-mun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan." [11]





>>> 4. Firman Allah Ta'ala :



أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ



"Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?" [QS. Al Maidah :50].



Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan sistem jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syari’at dan sistem Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur'an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunah?.



Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:

“Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” [12]



Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:

“Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.” [13]



Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar 'Alamah Syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.



Ketika berhukum dengan Ilyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…"



Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu'awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya."



Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, "Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku." [14]



Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam. [15]





>>> 5. Firman Allah Ta’ala :



أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءٌ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ



"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan (menetapkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [QS. Asy Syura :21].



Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini, "Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyari’atkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak." [16]





>>> 6. Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :



اِتَّـــخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمــــَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمـــَّا يُشْرِكُوْنَ



"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [QS. At Taubah : 31].



Sudah sama-sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan, "Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan sesuatu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya." Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A'yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits."



Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa VII/67 dan Syaikh Nashirudin Al Albani dalam Ghayatul Maram halaman 20, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid mengatakan tentang ayat ini, "Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan Rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…" [17]





>>> 7. Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :



وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُـــمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ



"Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].



Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin,"Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini. [18]



Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata, "Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syari’atnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan undang-undang selain-Nya atas syari’at-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah," Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah..."



Tidak diragukan lagi mengikuti Undang-Undang Dasar ‘45 yang menihilkan syari’at Allah merupakan sikap berpaling dari syari’at dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia.



Syaikh Syanqithi dalam tafsirnya[19] saat menafsirkan firman Allah:



وَلاَ يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهِ أَحَدًا



"Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." [QS. Al Kahfi :26].



Beliau berkata, "Dipahami dari ayat ini "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan" bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain apa yang disyari’atkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah :



وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ



"Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].



Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syari’at Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat,



أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَن لاَّتَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ



"Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61]."





>>> 8. Telah menjadi ijma' ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.



Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :

"Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin." [20]



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dinul Islam atau mengikuti syari’at (perundang-undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para Rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ..." {QS. An Nisa' :150}. [21]



Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa," Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari’at Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama." [22]



Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini. Insya Allah.



Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan dalam menafsirkan firman Allah, "Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini adalah sumpah Allah Ta'ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum muslimin." [23]



Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin." [24]



Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas ini disertai ijma' yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah kafir duna kafir (kafir asghar) tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha' (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.



~~~ **** ~~~

Komentar

Postingan Populer