Syubhat Perkataan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (Upaya Murjiah Membajak fatwa)

Syubhat:



Orang-orang yang anti takfir mu’ayyan sering membawakan perkataan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Mereka mengatakan: “Manhaj Ahlus Sunnah adalah pembedaan antara al kufrul muthlak dan muthlaqul kufur atau At Takfirul Muthlaq dan At Takfir ‘Alal Mu’ayyan”. Dan membawakan ucapan ibnu Taimiyyah: “Dan yang benar dalam masalah ini, bahwa kadang kala perkataan tersebut adalah kekufuran, sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah, yang mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak diakhirat, akan tetapi kadangkala hal itu tidak diketahui oleh sebagian orang, sehingga tidak dimutlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf: Barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ia kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat diakhirat, maka ia kafir, dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak atasnya Al hujjah” (Majmu’ fatawa 7/619). [1]



Jawaban:



Sekilas apa yang disampaikan mereka benar, namun hal ini perlu diperinci, dan perlu diperjelas apakah ucapan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah diatas ditujukan untuk pelaku mukafirah yang dhohirah(Jelas) ataukah dalam masalah khofiyah(samar)..? Berikut ini penjelasannya.



Kalau kita teliti lebih lanjut ucapan Syaikul Islam diatas membahas masalah khofiyah, hal ini bisa dibuktikan dengan ucapan beliau: “kadang kala perkataan tersebut adalah kekufuran” sampai ucapan “sehingga tidak mutlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya”, Perkataan Syaikul Islam ini menunjukkan bahwa terkadang orang itu kafir akibat dosa mukafirah yang dilakukannya dan terkadang tidak menjadikannya kafir akibat dosa mukafirah yang dilakukannya, hal ini terlihat jelas beliau mengucapkan istilah “kadang kala” yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah mutlak.



Dan perkataan Syaikul Islam “Sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah, yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak diakhirat, akan tetapi kadangkala hal itu tidak diketahui oleh sebagian orang.” Ini menunjukkan beliau sedang membahas masalah khofiyah dan tidak sedang membahas masalah yang dhohirah ataupun masalah syirik akbar.



Dan ucapan beliau: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, maka ia kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat diakhirat, maka ia kafir, dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak atasnya Al hujjah.” Ini juga menunjukkan bahwa beliau rahimahullah sedang membahas masalah khofiyah.



Dan perkataan beliau “maka ia kafir (takfir nau’) , dan tidaklah dikafirkan orang tertentu (takfir muayyan), sampai tegak atasnya Al hujjah.” Ini menunjukkan tidak bolehnya seorang muslim mengkafirkan saudaranya secara muayyan yang melakukan dosa yang mukafirah sebelum di tegakkan hujjah atasnya... tapi perlu diingat bahwa penegakan hujjah sebelum takfir muayyan hanya untuk masalah khofiyah, seperti yang telah dicontohkan oleh Syaikul Islam diatas.



Takfir Nau’ dalam masalah khofiyah



Takfir dalam masalah yang khofi, maka dalam mengkafirkan pelakunya perlu dengan fahmul hujjah dan idzalatus syubhat (difahamkan dan dihilangkan syubhat pada dirinya). Ini bisa dilakukan dengan diskusi yang panjang dan adu argumen. Contoh dari kasus ini adalah mengatakan Al Quran adalah makhluk atau apa yang terjadi terhadap Ibnu Taimiyah ketika menghadapi ulama’-ulama’ pengikut hawa nafsu dan bid’ah pada zaman beliau dimana beliau tidak langsung mengkafirkan mereka, tapi yang beliau lakukan adalah memberi penjelasan kepada mereka dengan dialog dan diskusi kemudian setelah mereka mentok dan tetap ngeyel pada pendiriannya, barulah Ibnu Taimiyah mengatakan kepada mereka seraya meninggikan suaranya. “Wahai zindiq!! Wahai kafir!! Wahai orang-orang murtad!! (lihat Al Haqoiq fii At Tauhid hal. 44)



Sebagai penguat apa yang saya sampaikan, maka saya bawakan ucapan Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan, beliau berkata: “Dan begitulah engkau dapatkan jawaban dari para imam dien ini dalam pokok ajaran itu saat mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, sesungguhya dia itu disuruh taubat, bila dia taubat, bila tidak maka dia dibunuh, mereka tidak menyebutkan ta’rif (pemberian penjelasan terlebih dahulu) dalam masalah-masalah pokok, mereka hanya menyebutkan ta’rif dalam masalah-masalah khofiyyah (yang samar) yang terkadang samar atas sebagian kaum muslimin dalilnya, seperti masalah-masalah yang diyakini oleh sebagian ahlul bid’ah seperti Qodariyah dan Murji’ah atau dalam masalah-masalah yang samar seperti Sharf dan ‘Athf (pelet). [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan: 150-151]



Lihatlah perkataan Syaikh Ishaq, beliau menyebutkan ta’rif atau penegakan hujjah hanya dalam masalah khofiyyah yang terkadang samar atas sebagian kaum muslimin dalilnya, seperti masalah-masalah yang diyakini oleh sebagian ahlul bid’ah seperti Qodariyah dan Murji’ah atau dalam masalah-masalah yang samar seperti Sharf dan ‘Athf (pelet). Dan beliau tidak mensyaratkan ta’rif dalam masalah-masalah pokok dan dalam masalah syirik akbar. Dan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah diatas, Syaikul Islam menyebutkan “Sebagaimana halnya dengan perkataan orang-orang Jahmiyyah”, sampai ucapan; “Kadang kala hal itu tidak diketahui oleh sebagian orang.” Dan perkataan: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq”, Ini menunjukkan bahwa yang dibahas para ulama dalam masalah khofiyah bukan dhohirah ataupun masalah syirik akbar.



Takfir Muayyan dalam masalah dhohirah



Kalau yang dilanggar adalah masalah yang tergolong dhoohiroh maka pengkafirannya cukup dengan telah sampainya hujjah padanya. Contoh, orang yang mengatakan bahwa sholat lima waktu tidak wajib, sementara dia tinggal di tengah-tengah kaum muslimin, maka dia dikafirkan (tentu kalau syaratnya terpenuhi dan penghalangnya tidak ada). Tidak perlu ada penjelasan dan diskusi lagi kepadanya tentang wajibnya sholat lima waktu karena keberadaannya di tengah-tengah kaum muslimin adalah hujjah baginya.



Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang orang yang mengingkari kewajiban sholat lima waktu sementara dia tinggal di negeri Islam, di tengah ahli ilmi, “Tidak diterima klaimnya bahwa dia tidak tahu.” (Syarh Al ‘Ummdah hal. 51 / Al Haqoiq hal. 45).



Berkata pengarang Al Mughni di dalam kitab zakat tentang orang yang mengingkari kewajibannya, “Kalau dia muslim yang hidup di negara Islam (berada) di antara ahlul ilmi, maka dia murtad, diberlakukan padanya hukum orang-orang murtad.” (Al Haqoiq hal. 45)



Berkata Ibnu Abi Umar tentang orang yang mengingkari kewajiban sholat sementara dia tinggal di tengah-tengah kaum muslimin di negeri Islam, “Tidak diterima klaim jahil darinya dan dihukumi kafir karena dalil kewajiban sholat adalah jelas.” (buka Al Haqoiq hal. 45)



Takfir Muayyan pelaku syirik akbar



Dan apabila yang dilanggar adalah aslul islam (melakukan syirik akbar) maka penjelasannya sebagai berikut:



Al Imam Abi Muhammad Al Hasan Al Barbahari berkata, “Dan tidak boleh dikeluarkan seorang ahlul qiblah dari Islam sampai dia menolak satu ayat dari kitabullah atau menolak sesuatu dari atsar-atsar Rasulullah atau sholat untuk selain Alloh atau menyembelih untuk selain Alloh . Maka apabila dia melakukan hal tersebut di atas, wajiblah atas dirimu mengeluarkannya dari Islam.” (kitab Sahru As Sunnah poin 49 / Al Jami’ 7/ 49).



Ucapan beliau “wajiblah atas dirimu” ini adalah kalimat umum, tidak untuk ulama’, qodhi atau hakim saja. Sedang perkara yang beliau contohkan termasyuk syirik, jadi mengkafirkan (lebih-lebih pada pelaku syirik) bukanlah hak ulama’ saja tapi hak siapa saja yang mengetahui.



Syaikh Islam Muhammad bin Abdil Wahhab berkata ketika beliau menukil ucapan seorang badui, “Dan sungguh alangkah indah sekali apa yang dikatakan seorang arab badui tatkala dia datang kepada kami dan mendengar (sedikit) dari Islam (tauhid) ini, ia langsung berkata : “Saya bersaksi bahwa kami orang-orang kafir, dan saya bersaksi bahwa muthowwi’ (ustadz/kiyai) yang mengatakan bahwa kami adalah orang-orang Islam, dia adalah kafir.” (Syarh Sittati Mawadhi Mina As-Siroh hal. 23 dalam Majmu’ah At-Tauhid).



Ini adalah ucapan paling kuat dan jelas dalam masalah ini, bagaimana tidak coba kita perhatikan seorang badui, orang dusun yang tidak tahu apa-apa jelas dia bukan pelajar atau cendikiawan apalagi ulama’. Bagaimana mau dikatakan ulama’ sementara dia baru datang dan baru mendengar dan belajar tauhid. Tapi dia berani mengkafirkan secara ta’yin dirinya sendiri dan seluruh orang badui yang bersamanya bahkan masih dia tambah murobbi’nya sekalian dikafirkan secara mu’ayan.



Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, “Ini berdasarkan atas apa yang telah engkau ketahui bahwa tauhid itu menuntut penafi’an syirik, berlepas diri darinya, memusuhi para pelakunya dan mengkafirkan pelakunya saat hujjah telah tegak atas mereka.” (Syarh Ashli Dienul Islam dan Majmu’ah At-Tauhid hal. 31).



Perhatikan ucapan beliau “Ini berdasarkan atas apa yang engkau ketahui -sampai- mengkafirkan mereka”. “engkau” yang beliau maksud adalah umum, tidak ditunjukkan kepada ulama’ saja karena mengkafirkan mereka berkaitan dengan orang yang bertauhid sementara orang yang bertauhid tentu bukan ulama’ saja tapi siapa saja yang merasa bertauhid harus mengkafirkan pelaku syirik akbar saat hujjah sudah tegak pada mereka karena mengkafirkan mereka merupakan syarat sahnya tauhid.



Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata dalam rangka membantah orang yang enggan mengkafirkan secara mu’ayyan orang yang menyekutukan Allah : “Apakah pernah ada seorang saja dari semenjak zaman sahabat hingga zaman Manshur –Al Bahuty– bahwa mereka (pelaku syirik) itu dikafirkan nau’nya saja tidak mu’ayyan ?.” [lihat risalah beliau kepada Ahmad Ibnu ‘Abdil Karim Al Ahsaaiy dalam Tarikh Nejd : 346, juga Ad Durar As Saniyyah : 10/69]



Ketahuilah sesungguhnya masalah takfir mu’ayyan dalam syirik akbar dan masalah dhahirah yang lainnya adalah cabang dari masalah udzur jahil. Bila masalah udzur jahil sudah gugur di dalamnya, maka tidak ada penghalang lagi dihadapan muwahhid untuk mengkafirkan orang mu’ayyan bila memang orang ini melakukan kemusyrikan dan kekafiran yang nyata, beda halnya dengan masalah-masalah khafiyyah seperti Khalqul Qur’an umpamanya. Wallohu A’lam



__________________________________________________



[1] Dibawakan oleh ustadz Muhammad Arifin bin Baderi dalam membantah tulisannya ustadz Amman Abdurrahman. Tapi sayang, kebiasaan ahlul bid’ah adalah menggunakan dalil tapi bukan pada tempatnya. Para ulama membedakan antara takfir nau’ dan takfir mu’ayan hanya dalam masalah khofiyah, sedangkan mereka menggunakan ucapan para ulama tersebut untuk suatu masalah yang dhohirah. Wallohu A’lam. Pent.

Komentar

Postingan Populer