Begundalmilitia Menyesatkan Lagu Anak Yang Sesat


Senin, 07 Desember 2009

Apa tanda-tandanya anak sudah bisa diajarkan menyanyi? Disini, di kontrakan Gandaria, Jagakarsa, tandanya adalah ketika itu anak mengoceh dan bersenandung sendiri. Itu versi kontrakan sini. Entah versi kontrakan Pak Haji Umar atau kontrakannya Bang Arif yang Ketua RT. Yang jelas anak sini (baca; Revo) mulai bisa bernyanyi ketika dia sudah mulai bersenandung sambil memanjat teralis jendela. Saya tidak tahu kenapa sejak itu dia mulai bisa diajarkan menyanyi. Apakah karena ia merasa dirinya Sir Edmund Hillary yang sedang berusaha memanjat Everest (yang butuh nyanyian agar bersemangat) ataukah dia merasa dirinya bagian dari Easy Company yang sedang latihan menaiki bukit? Agrh kenapa saya sampai sejauh itu memikirkannya. Toh saya yakin Revo belum pernah lihat Edmund Hillary atau Band of Brothers.

Lihatlah dia, itu Revo, memanjat naik terus ke atas. Bersemangat dengan nyanyian karangannya. Ke itu ujung horden. Sengaja saya tidak suruh dia turun. Biarkan saja pikir saya. Toh kalau jatuh ke bawah. Tidak bakal ke atas. Lagian kasihan nampaknya dia sedang begitu konsentrasi dengan lagu gubahan dan usaha mendakinya.

Satu lagu beres (nampaknya). Tak berselang 5 detik dia membuat nada-nada pentatonik yang tidak beraturan lagi. Beradu dengan suara hujan yang memang sedang lebatnya. Sekonyong-konyong, sebuah guntur yang tidak memakai M Romli belakangnya ikut memeriahkan suasana. Revo kelihatan kaget dibuatnya. Hampir saja dia free fall. Namun dengan sigap tangannya dia pegangkan lagi ke teralis besi. Mukanya memucat melihat kiri kanan seperti orang mau menyebrang. Saya lihat kiri kanan juga. Tidak ada mobil, tidak ada truk gandengan. Bebas untuk menyebrang. Saya bilang ke Revo supaya terus menyebrang tapi dia malah tetap celingak celinguk. Lantas memanggil itu nama alias saya sambil menangis keras. Ah, ada apakah gerangan? Kenapa dia tidak memanggil nama asli saya saja? Kan kita sudah saling kenal. Apa karena tidak sopan? Sebab budaya Timur melarang seperti begitu.

Oh, ternyata dia hanya ingin turun dari teralis besi itu. Sebab ternyata dia tidak tahu cara turunnya. Aha! Ini saat yang tepat buat saya untuk ikut menyanyi meramaikan suasana. Tentu saja dengan nada-nada yang tidak beraturan juga.

“Ayo teu tiasa turunnnn…. Ayo teu tiasa turunnn… Ayo teu tiasa turunnn… (Ayo tidak bisa turun)” itu saya berkoceh sambil menepukkan tangan dengan tepuk yang jelas bukan tepuk Pramuka.

Tahu dibegitukan oleh saya, tangis Revo sekarang disertai jerit metalnya. Jerit yang bisa terdengar sampai ke mimbar masjid yang terhalang kebun sepanjang lima puluh meter itu. Suara dia memang keras begitu. Kalau sudah menjerit seperti itu tak kalah lah dengan Sammy Hagar-nya Van Hallen. Sumpah demi metal!

Demi mengakhiri konser metal dadakan yang makin memanas lengkingnya, saya akhirnya mendekati Revo. Saya pegang badannya dari belakang sambil berkata kalau mau jadi vokalis metal tidak usah naik-naik teralis segala. Naik teralis mah cocoknya jadi wallclimber. Mengerti tidak begitu saya bilang dan tanya padanya. Alhamdulillah dia tidak mengerti. Ya sudah akhirnya saya turunkan dia dari teralis yang menjadi neraka baginya.

“Sok ayeuna mah amengna dihandap we! (Ayo sekarang mainnya dibawah saja) kata saya.

Revo sesegukan. Tangisnya masih belum habis. Namun berangsur mereda seketika si Um-Um Surum Um yang pengusaha pabrik susu datang.

“Eneng, nyanyi Naek Kereta Api kumaha?” si Um-Um Surum Um membuka keramaian.

“Api…tutttt…. tutttt…. tuttttt” Revo menyanyi-nyanyi sambil kepalanya goyang kiri kanan mirip orang lagi dugem. Oh mungkin begini ya kalau bayi dugem. Pikir saya.

“Naik kereta api tut.. tut.. tut.. siapa hendak turut.. ke Bandung.. Surabaya.. bolehlah naik dengan percuma.. ayo kawanku lekas naik.. keretaku tak berhenti lama..” itu Um-Um Surum Um melanjutkan nada-nada Doel Sumbang nya.

“Eh Um-Um Surum Um, lagunya ganti ah!’ larang saya, “Jangan lagu itu!”

“Kok diganti?” Um-Um Surum Um bertanya-tanya.

“Itu mah lagu yang mengajarkan yang tidak benar”

“Tidak benar apanya?”

“Masa mengajarkan anak biar nanti naik kereta gratisan. Pantesan saja PT KAI suka berkeluh kesah rugi terus”

“Kok gratisan??? Oh iya. Hehehe…” Um-Um Surum Um tersadar tapi kemudian malah nyengir kuda.

“Yeee… malah nyengir deui” timpal saya, “Mau tidak nanti si Revo kalau besar naik keretanya ke atas gerbong terus?”

“Ya nggak lah” jawab dia, “Trus nyanyi apa atuh?”

“Seterah. Yang penting yang ararekoy (baca oke)”

“Neng, nyanyi balonku yu Neng!” Um-Um Surum Um mengajak Revo mengganti lagu. Dengan serta merta Revo lalu teriak “Dollllllllllllllllllll…” Mungkin maksudnya balonnya meletus.

“Eh, tapi lagu Balonku juga jangan” larang saya lagi.

“Kok jangan lagi?”

“Itu lagu yang mengajarkan anak tidak pandai berhitung. Masa balonnya cuma 5? Kan seharusnya balonnya ada 6. Sok geura itung! (Coba saja hitung)… Balonku ada 5… rupa-rupa warnanya… merah, kuning, kelabu.. merah muda dan biru… meletus balon hijau, dorrrr!!!”

“Dolllllllllllll……………” Revo ikut-ikutan ngedorrr.

“Coba hitung berapa warnanya tuh? Ada 6 kan?!"

“Eh iya ya. Kok baru tahu ya? Hehehe……” kata Um-Um Surum Umum, “Trus lagu apa lagi yang tidak boleh?”

“Sebentar mikir dulu nih” sengaja saya mengulur-ngulur waktu agar banyak lagu yang tidak boleh dinyanyikan. Bukan apa-apa, soalnya suara si Um-Um Surum Um fals. Hehehe… Tapi sebenarnya bukan itu kok alasannya. Saya sengaja saja mencari-cari alasan biar si Revo lebih pintar mengaji daripada menyanyi. Sepertinya alasannya tidak menyambung ya. Tapi biarlah.

Lalu saya katakan pada Um-Um Surum Um kalau lagu Bangun Tidur (Bangun tidur ku terus mandi.. tidak lupa menggosok gigi.. habis mandi ku tolong ibu.. membersihkan tempat tidurku..) pun tidak boleh. Sebab lagu ini mendidik anak tidak disiplin, selalu buru-buru, dan mengajarkan nudism. Masa setelah mandi lalu membereskan tempat tidur. Kan badannya masih basah. Bahkan telanjang pula. Harusnya yang benar kan pakai baju dulu.

“Lagu Burung Kutilang, Ibu Kita Kartini, dan Bintang Kecil juga tidak boleh!”

“Hah? Kok bisa?”

“Ya bisa dong. Kenapa juga tidak bisa?” jawab saya.

Lagu-lagu tadi mengajarkan anak untuk pintar berbohong dan memanipulasi realita. Begitu kata saya. Suatu hari nanti kalau mereka (baca: anak-anak) terus diajarkan lagu-lagu seperti ini dikhawatirkan ketika dewasa nanti dia menjadi koruptor. Coba saja resapi lagu Burung Kutilang (Di pucuk pohon cempaka.. burung kutilang berbunyi.. bersiul-siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu.. mengangguk-ngangguk sambil bernyanyi tri li..li..li..li..li..li..). Sejak kapan suara Kutilang jadi tri li li li li. Bukannya yang benar adalah cuit…cuit…cit. Yang tri li li li li itu mungkin suara Agnes Monica yang sedang menyanyi di Tra la la tri li li (acaranya dia dulu).

Mendengar itu, Um-Um Surum Um cengengesan lagi. Sialan pikir saya. Kenapa dia cengengesan. Padahal saya sedang membahas dengan ilmiah begini. Demi membuktikan keilmiahan saya, saya buktikan lagi dengan lagu-lagu lainnya. Lagu Ibu Kita Kartini (Ibu kita Kartini…putri sejati.. putri Indonesia.. harum namanya…) adalah lagu pembodohan begitu saya bilang padanya kemudian. Masa sudah tahu namanya Harum eh masih dibilang Kartini. Bukannya itu pembohongan yang begitu jelas. Begitu juga dengan lagu Bintang Kecil (Bintang kecil dilangit yg biru…). Saya suruh saja Um-Um Surum Um melihat keluar jendela. Lantas bertanya apakah warna langit diatas itu biru. Saya ulang sampai tiga kali pertanyaan itu. Dan saya yakin semua orang termasuk Um-Um Surum Um akan menyangkal akan penyataan di lagu itu. Sebab langit diluar sana berwarna gelap aka hitam. Bukan biru.

“Hehehe…. Iya ya?”

“Iya.. Iya terus ah dari tadi” kata saya. (Padahal maksud saya ayo dong pikirkan lagi lagu apa lagi yang dilarang. Sudah cukup semaput nih mencari alasan-alasan biar masuk akal)

“Naik Delman juga tidak boleh” ujar saya lagi.

“Kenapa?”

“ Itu lagu mengajarkan anak tidak sopan kepada orang lain” jawab saya, ” …Pada hari minggu ku turut ayah ke kota.. naik delman istimewa ku duduk di muka.. Nah muka siapa tuh yang diduduki? Muka ayahnya atau kusir delman?”

“Hahaha……”

“Nina Bobo juga sama”

“Nina Bobo kenapa?”

“Nina Bobo mengajarkan anak hidup penuh ancaman. Hidup dalam naungan teror. Hidup untuk memusuhi ciptaan Allah”

“Hah?”

“Dengarkan nih! Nina bobo.. ooh nina bobo… kalau tidak bobo digigit nyamuk” saya berdendang, “ Nyamuk dicap teroris setiap hari. Padahal Allah menciptakannya tentu ada gunanya. Bukan semata-mata menjadi teroris buat manusia setiap malamnya”

“Hehehe… Ah ada-ada aja”

“Ya harus diada-adain atuh!”

“Apalagi?”

“Lagu Cakul-cangkul, cangkul yang dalam, menanam jagung dikebun kita…

“Itu kenapa?”

“Itu lagu yang mengajarkan anak agar menjadi orang yang lebay, bodoh, dan tidak efektif & tidak efisien. Lha wong mau menanam jagung kok mencangkulnya dalam-dalam. Memangnya mau bikin sumur. Kuburan juga paling satu meter tidak perlu dalam-dalam sekali?”

“Hehehe… “

“Hehehe…” Revo ikutan ketawa melihat Um-Um Surum Um cengengesan dari tadi.

Eh, si Eneng siga nu ngartos wae (Ih si Eneng seperti yang mengerti saja)” kata saya,”Eneng ngartos? (Eneng mengerti?)”

“Manyun…manyun… muachhh” Revo malah me-manyun-kan (memajukan) bibirnya lalu mencium si Cobo boneka beruang nya yang segede alaihim gambreng itu.

“Nih ada lagi!” kata saya, “Lagu Aku seorang kapiten!”

“Memangnya kenapa lagu itu?”

“Lagu ini mendidik anak menjadi penjajah yang tidak konsisten. Sekaligus mengajarkan Revo menjadi tomboy”

“Alasannya?”

“Lagu itu kan lagunya anak laki-laki. Nah klo si Eneng diajarkan lagu itu. Nanti dia malah main pedang-pedangan. Bukan boneka atau masak-masakan. Tomboy lah sudah dirinya. Beruntung kalau cuma tomboy saja. Kalau jadi aktivis kesetaraan gender yang feminis bagaimana coba?”

“Hehehe… Terus…terus???”

“Lagu ini juga tidak konsisten. Kalau misal ingin cerita tentang sepatunya seharusnya menyanyi begini…Aku seorang kapiten… mempunyai sepatu baja (bukan pedang panjang).. kalau berjalan prok..prok.. prok.. Tapi kalau ingin cerita tentang pedangnya, harusnya menyanyinya seperti begini …mempunyai pedang panjang… kalo berjalan srek.. srek.. srek… Benar tidak???”

“Iya… hehehe…”

“Kalau yang menjadi penjajahnya gimana?” Um-Um Surum Um membuat dirinya bagai investigator polisi.

“Ah itu mah gampang. Kapiten kan khas istilah jaman Kompeni begitu. Benar tidak? Pertanyaanya sekarang, kenapa harus Kapiten? Kenapa tidak mujahid atau mujahidah? Coba dengarkan kalau lagunya digubah menjadi seperti ini …Aku seorang Mujahidah… mempunyai pedang panjang… kalau berjalan sret…sret…sret…. Aku Seorang Mujahidah! Lebih pas dan syar’i kan?”

“Hehehe... Bener-bener” Um-Um Surum Um mengiyakan saja. Soalnya kalau tidak mengiyakan percuma baginya. Biasanya kalau tidak mengiyakan selalu akan saya arahkan agar menjadi iya dengan apa kata saya. Jawab iya atau tidak iya menjadi sekedar formalitas baginya sebab jawabannya sudah ada; Iya. Begitulah saya yang telah menjadikan saya bagai penjajah baginya. Tapi tentunya saya bukan penjajah yang semena-mena seperti Tuan Daendels.

“Terus lagu apa atuh kalau begitu yang cocok buat Eneng?” tanya Um-Um Surum Um.

“Sudah dengarkan saja ini!” saya perlihatkan CD Murrotal yang kemudian saya santapkan ke mulut DVD player. Lalu saya seolah-olah menjadi Tuhan dengan menghidupkannya. Murotal pun mulai mengalun dengan indahnya.

“ Aohhhhhhh………” Revo mengangkat kedua tangannya lalu melipatkannya di perut. Hampir mirip dengan orang yang sedang takbiratul ikhram. Setelah itu lalu dia sujud dengan pantat yang ditunggingkan dengan lebaynya. Begitu berulang-ulang. Berulang-ulang. Dan berulang-ulang.

Komentar

Postingan Populer