II. KAJIAN TERHADAP BEBERAPA PRINSIP PRISIP PERANG.

Kepemimpinan Dalam Perang
Ibnun Nuhas berkata:”Dan ketahuilah bahwa hal yang mendasar dalam pengaturan perang adalah pada pemilihan para komandan dan orang-orang yang mempunyai kelebihan. Sesungguhnya pimpinan pasukan, pembawa bendera dan orang-orang semacam mereka, haruslah dari orang-orang yang memiliki keberanian, taat beragama, mempunyai hati yang teguh dan tajam, perkasa, berpengalaman dalam peperangan, kuat dalam menangani pekerjaan, menggetarkan para pahlawan, telah mengikuti berbagai pertempuran serta mempunyai suara yang lantang. Karena kalau pemimpin seperti itu, akan memberikan pengaruh pada kekokohan hati pasukan, keperkasaan, keteguhan dan optimis untuk menang. Sesungguhnya seorang komandan itu ibaratnya seperti hati dalam tubuh manusia, jika komandan rusak maka rusaklah pasukan dan jika ia mempunyai keteguhan merekapun akan teguh. Disebutkan dalam kata mutiara asing: “Seekor singa memimpin seribu musang itu lebih baik dari pada seekor musang memimpin seribu singa.” Dan As-Surmari (seorang pahlawan terkenal) berkata: “Hendaknya pada diri seorang pimpinan perang itu ada sepuluh sifat sebagai berikut:
Hendaknya hatinya sekuat singa, tidak pengecut.
Sesombong macan, tidak rendah diri.
Pemberani bak beruang, membunuh dengan seluruh anggota badannya.
Teguh seperti babi, tidak pernah mundur.
Penyergap seperti srigala, jika gagal menyergap dari satu tempat menyergap dari tempat lain.
Jika membawa persenjataan seperti semut, membawa lebih dari ukurannya.
Kokoh seperi batu karang.
Kesabarannya seperti keledai.
Keinginannya keras seperti anjing, jika mangsanya masuk kedalam api ia akan masuk mengikutinya.
Dalam menggunakan kesempatan seperti ayam jantan.
Ibnu Taimiyah berkata:”Sesungguhnya Al-Walayah (kepemimpinan) itu mempunyai dua rukun: Al-Quwwah dan Al-Amanah. Sebagaimana firman Alloh:
إن خير من استأجرت القوي الأمين
“Sesungguhnya sebaik-baik orang yan engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi berlaku amanah.”
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf as.
إنك اليوم لدينا مكين أمين
“Sesungguh engkau hari ini bagi kami adalah orang yang kuat lagi dipercaya.”
Dan Alloh berfirman tentang sifat Jibril
إنه لقول رسول كريم ذي قوة عند ذي العرش مكين مطاع ثم أمين
Dan kekuatan itu disesuaikan dengan kepemimpinan yang ditangani. Adapun kekuatan pada kepemimpinan perang, kembali kepada keberanian hati, pengalaman berperang, kemampuan mengatur siasat tipudaya, karena sesunggguhnya peperangan itu adalah tipu daya dan juga kemampuan dalam berbagai bentuk peperangan.”
Kemudian beliau mengatakan lebih lanjut: “Terkumpulnya sifat Al-Quwwah dan Al-Amanah pada seseorang sangat jarang. Oleh karena itu Umar bin Khothob berkata:
ۥلهم أشكو إليك جلد الفاجر و عجز الثقة
“Ya Alloh aku mengadukan kepadamu terhadap orang fajir yang kuat dan orang terpercaya yang lemah.”
Yang wajib pada setiap kepemimpinan itu disesuaikan dengan kebutuhan yang terbaik untuk kepemimpinan tersebut. Apabila ada dua orang yang satu lebih bersifat amanah dan yang satu lagi lebih kuat, maka dipilihlah orang lebih memberikan manfaat bagi kepemimpinan yang akan diembannya dan yang lebih sedikit bahayanya. Oleh karena itu pada kepemimpinan perang, orang yang kuat dan pemberani lebih diutamakan (meskipun ia banyak berbuat dosa) dari pada orang yang lemah meskipun ia berlaku amanah. Sebagaimana Imam Ahmad pernah ditanya tentang dua orang yang akan diangkat menjadi pemimpin dalam peperangan, yang satu kuat tapi fajir (banyak berbuat dosa) dan yang satu lagi orangnya sholih tapi lemah, mana yang lebih berhak dijadikan pimpinan perang. Beliau menjawab: “Adapun orang fajir yang kuat, kekuatannya bermanfaat bagi kaum muslimin dan kefajirannya hanya membahayahan dirinya sendiri, sedangkan orang sholih yang lemah, kesalehannya untuk dirinya sendiri dan kelemahannya membahayakan kaum muslimin. Oleh karena itu yang lebih diutamakan adalah orang kuat yang fajir. Dan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda;
إن الله يؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر وروي بأقوام لا خلاق لهم
Meskipun bukan orang yang fajir, ia lebih berhak memimpin peperangan dari pada orang yang lebih taat beragama namun tidak mampu memenuhi tuntutan perang. Oleh karena itu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memanfatkan Kholid dalam peperanngan sejak ia masuk Islam, dan beliau berkata:
إن خالدا سيف سله الله على المشركين
“Sesungguhnya Kholid adalah pedang yang dihunuskan Alloh terhadap orang-orang musyrik.”
Meskipun kadang-kadang ia melakuan pebuatan yang diingkari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Sampai-sampai beliau pernah mengangkat kedua tangannya ke langit dan berkata: “Ya Alloh aku berlepas diri kepada engkau terhadap apa yang diperbuat Kholid.” Ketika ia diutus ke Bani Judzaimah lalu ia memerangi mereka dan merampas harta mereka dengan adanya semacam padahal itu tidak boleh. Hal itu diingkari oleh beberapa sahabat yang bersamanya sampai-sampai hal itu menyinggung Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau menjamin harta mereka. Namun demikian beliau tetap selalu memilihnya memimpin peperangan karena ia lebih tepat dalam hal ini sedangkan ia melakukan hal kesalahan diatas disebabkan karena takwil.
Dan Abu Dzar ra. lebih mempunyai sifat amanah dan jujur dari pada Kholid, namun demikian Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada beliau.
“jnganlah engkau mengurus harta anak yatim.”
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam melarang Abu Dzar untuk memimpin karena beliau melihat Abu Dzar sebagai orang yang lemah, padahal Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
ما أظلت الخضراء وما أقلت الغبراء أصدق لهجة من أبي ذر
Dan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus ‘Amru bin Al-‘Ash pada perang Dzatus Salasil (supaya kerabatnya yang diserang rela) padahal ada yang lebih utama dari pada beliau. Dan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat Usamah bin Zaid untuk menuntut balas ayahnya. Dan begitulah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat seseorang sesuai dengan kemaslahatannya meskipun kadang-kadang yang dipimpin itu ada yang lebih utama baik ilmu maupun imannya.
Penuh Waspada
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
“ Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat,lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” ( An Nisaa : 102 )
Asy-Syaukani berkata:”Adapun firman Alloh:
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً
kalimat ini menerangkan sebab kenapa mereka diperintahkan untuk berwaspada dan membawa senjata
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُم
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!.” ( An Nisaa : 71 )
Ibnu Katsir berkata:”Alloh memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berwaspada dari musuh-musuh mereka, dan ini menuntut untuk mempersiapkan pesenjataan, persiapan dan memperbanyak jumlah dalam berjihad fii sabilillah.”
Oleh karena Kewaspadaan itu sangat penting dalam jihad, maka disyari'atkanlah hal-hal berikut ini:
q Menjaga rahasia.
Bukhori meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik tentang cerita tertinggalnya dari perang Tabuk beliu berkata :
لَمْ يَكُنْ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ يُرِيْدُ غَزْوَةً إِلاَّ وُرِيَ بِغَيْرِهَا حَتَّى كَانَتْ تِلْكَ اْلغَزْوَةُ غَزَاهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ ِفي حَرٍّ شَدِيْدٍ وَاسْتَقْبَلَ سَفَرًا بَعِيْدًا وَ مُفَازًا وَعَدُوا كَثِيْرًا فَجَلَى ِللْمُسْلِمِيْنَ أَمْرَهُمْ ِليَتَأَهَّبُوْا أَهَبَّةً غَزَوْهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ بِوَجْهِهِ الَّذِيْ يُرِيْدُ
“Rosululloh tidaklah pernah mau berperang kecuali beliau sembunyikan dari orang lain, sampai ketika itu peperangan yang akan diadakan Rosululloh pada cuaca yang sangat panas, perjalanannya sangat jauh dan musuh yang sangat banyak, maka Rosulullohpun memberitahukan kepada kaum muslimin supaya mereka mempersapkan peperangan dan beliau membitahukan tujuannya.” (Al-Bukhori VI/80 dan Muslim: 2769)
Hadits ini menunjukkan atas bolehnya menyembunyikan rahasia meskipun kepada para sahabat sekalipun. Hal ini bukan berarti sebuah pengkhianatan terhadap saudara sendiri namun kewaspadaan dalam peperangan menuntut hal itu. Maka begitulah para komandan peperangan berhak memberi tahu siapa saja yang menurut dia perlu untuk mengetahui urusan peperangan yang tengah ia jalankan dan merahasiakannya kepada siapa saja yang diperlukan menurutnya.
q Membuat sandi
Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Muhallab bin Abi Shufroh ra. Dari orang yang mendengar dari Nabi saw., bahwasanya beliau berkata:
إن بيتكم العدو فقولوا حم لا ينصرون
“Jika musuh menyergap pada malam hari maka katakanlah haa miim laayunshorun!"(Jami’ul Ushul II/573 no. 1053, At-Tirmidzi no. 1682 dalam kitabul Jihad bab maa jaa’a fisy syi’ar dan isnadnya hasan, Abu dawud no. 2597, Ahmad IV/65,V/377 dan dishohihkan oleh Al-Hakim II/107 Dan Ibnu Katsir menyebutkannya dalam tafsir beliauIV/69 dari Abu Dawud dan At-Turmudzi dan beliau berkata:”Hadits ini sanadnya shohih.”)
Al-Baghowi berkata:” Al-Imam berkata: Apabila musuh menyerang kalian pada watu malam hari, sehingga kaum muslimin bercampur dengan musuh, maka hendaklah imam membuat syiar yang mereka ucapkan sebagai pembeda antara mereka dengan musuh.”
q Menyebar mata-mata
Al-Bukhori meriwayatkan bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat perang Ahzab bersabda:”Siapa yang bisa mendatangkan berita tentang kaum (baca: musuh) kepadaku.” Zubair menjawab:” Saya.” Kemudian beliau bersabda lagi:” Siapa yang bisa mendatangkan berita tentang kaum (baca: musuh) kepadaku.” Zubair menjawab:” Saya.” Lalu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:”Sesungguhnya setiap nabi itu mempunyai hawari (pembela), dan pembelaku adalah Zubair.” (Al-Bukhori no. 2846, 2847, 2997)
Ibnu berkata:”Hadits ini menunjukkan atas bolehnya menggunakan mata-mata dalam jihad.”
q Bunuh diri dalam rangka menjaga rahasia.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah di tanya beberapa mujahidin dari Al Jazair ketika meletus perang kemerdekaan.Pertanyaan ini menyangkut tawanan yang melakukan tindakan bunuh diri demi terjaganya rahasia dari musuh.pertanyaan itu sebagai berikut,”orang-orang perancis akhir-akhir ini semakin menggebu di dalam berperang.Mereka menggunakan narkotika untuk membongkar rahasia mujahidin ketika mereka berhasil menawan salah satu dari warga Aljazair.Di orang-orang yang mereka tawan itu terkadang ada tokoh-tokoh penting sehinga bisa-bisa ia membeberkan bahwa di tempat ini ada ini dan seterusnya.injeksi dengan narkoba ini bisa menghilangkan akal untuk sementara waktu.Jika sudah begitu,siapa saja yang di injeksi akan mengatakan apa saja di alam sadarnya.Nah bolehkah seorang tawanan membunuh dirinya sendiri karena khawatir musuh akan mengenjiksinya dengan narkoba? Syekh Ibrahim menjawab:Jika demikian halnya di perbolehkan.Di antara dalilnya adalah hadits “Kami beriman kepada Rabbnya si anak muda …dan seterusnya.’Dan pernyataan ahli ilmu ‘Jika kapal …dan seterusnya.’Mafsadat dari membeberkan rahasia lebih besar daripada mafsadat membunuh diri sendiri.Kaidah dalam hal ini Muhkam,dan bagaimanapun ia akan di bunuh’.
Membuat tipu daya
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اْلحَرْبُ خُدْعَةٌ
“Perang itu adalah tipu daya.” (Al-Bukhori VI/110, Muslim:1739, Abu Dawud: 2636 dan At-Tirmidzi: 1675)
Ini adalah termasuk bentuk kalimat yang menunjukkan pembatasan mubtada’ pada khobar, artinya bahwasanya asas peperangan dan penopang terpentingnya adalah tipu daya. Sebagaimana sabda rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam «الحج عرفة» artinya arofah adalah hal yang terpenting dalam haji padahal masih ada rukun rukun lainnya dalam haji. Begitu pula sabda beliau«الدين النصيحة»
Di antara yang mendukung atas terlaksananya tipu daya adalah disyari'atkannya berbohong kepada musuh. Berbohong kepada musuh bukan hanya diperbolehkan waktu berperang saja. Namun berbohong kepada musuh diperbolehkan juga pada salain waktu perang kalau diperlukan.
Adapun berbohong ketika dalam peperangan adalah berlandaskan hadits Umu Kultsum binti Uqbah beliau berkata:
لم أسمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يرخص في شيء من الكذب مما تقول الناس إلا في الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها
”Aku belum pernah mendengar rosululloh memberikan rokhshoh kepada manusia untuk berbohong pada masalah apapun kecuali pada peperangan, mendamaikan antara manusia dan seorang laki-laki kepada istrinya serta seorang istri kepada suaminya.” HR. Ahmad, Muslim Abu Daud dan diriwayatkan At Tirmidzi Asma binti Yazid
Imam Al-Hafidz Abul ‘Ula Muhammad Abdur Rohman bin Abdur Rohim Al-Mubarokfuri:”Imam An-Nawawi berkata:”Para ulama’ bersepakat atas bolehnya menipu orang-orang kafir dalam peperangan jika memungkinkan kecuali jika mengandung unsur pengkhianatan terhadap janji atau jaminan keamanan, maka hal itu tidak halal.” (Shohih Muslim Bi Syarhin Nawawi XII/45).
Ath-Thobari berkata:”Penipuan yang diperbolehkan dalam peperangan adalah penipuan yang berupa kiasan dan bukan penipuan yang sebenarnya, sesungguhnya penipuan yang sebenarnya itu tidak halal.” An-Nawawi berkata:”Yang dhohir dari nas hadits adalah boleh melakukan penipuan yang sebenarnya. Akan tetapi lebih utama cukup menggunakan kiasan.” Dan Ibnul-‘Arobi berkata:”Berbohong dalam peperangan yang dikecualikan dan diperbolehkan dengan nas adalah merupakan bentuk kasih sayang terhadap umat Islam karena mereka memerlukannya, dan akal tidak berhak menentukan atas bolehnya, jika diperbolehkannya berbohong itu berlandaskan akal (bukan karena nas) maka hukum berbohong itu tidak akan berubah menjadi halal.”
Adapun berbohong atas musuh dalam keadaan damai (bukan perang), maka hal tersebut diperbolehkan dengan beberapa sebab, di antaranya : apabila di sana terdapat kemaslahatan diniyah maupun duniawiyah bagi seorang mukmin atau terhindarnya seorang mukmin dari gangguan orang-orang kafir.
Dasarnya adalah kisah nabi Ibrahim as. Rosululloh saw bersabda:
«لم يكذب إبراهيم إلا ثلاث كذبات: ثنتين منهن في ذات الله: قوله {إِنِّي سَقِيمٌ}، وقوله {بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا}، وقال: بَيْنا هو ذات يوم وسارة إذ أتى على جبار من الجبابرة فقيل له: إن ها هنا رجلا معه امرأة من أحسن الناس، فأرسل إليه فسأله عنها فقال: من هذه؟ قال: أختي. فأتى سارة قال: يا سارة ليس على وجه الأرض مؤمن غيري وغيرك، وإن هذا سألني عنك فأخبرته أنك أختي، فلا تكذبيني»
“Ibrahim tidak pernah berdusta kecuali dalam tiga hal, dua hal berkaitan dengan dzat Alloh swt, yaitu perkataannya: “Sesungguhnya saya sedang sakit” dan yang kedua “Yang menghancurkan (patung-patung itu) adalah patung yang paling besar ini.” Dan yang ketiga adalah ketika Ibrahim sedang bersama isterinya pada suatu hari, lalu ada seseorang yang datang kepada seorang raja diktator lalu ia berkata ; “Sesungguhnya di sisni terdapat seorang laki-laki bersama seorang perempuan yang terbaik (sangat cantik).” maka raja tersebut mengutus seseorang kepada Ibrohim dan menanyakannya:“Siapa perempuan ini?” Ibrahim berkata: “Ini adalah saudara perempuanku.” Lalu Ibrahim menemui isterinya (Sarah) dan berkata: “Di muka bumi ini tidak ada seorang mukmin pun kecuali engkau dan aku. Dan laki-laki tadi bertanya kepadaku tentang dirimu, maka aku katakan bahwa engkau adalah saudara perempuanku, maka janganlah engkau mendustakanku.”
Ibnu Hajar berkata:”Sekedar berdusta dalam keadaan-keadaan semacam tersebut di atas tidaklah diperbolehkan, namun kadang berbohong menjadi wajib dikarenakan untuk memilih madlorot yang paling ringan dan mencegah madhorot yang lebih besar. Adapun hal itu disebut dusta, bukan berarti hal itu tercela, karena meskipun bohong itu jelek akan tetapi kadang-kadang ia menjadi baik dalam kasus tertentu, sebagaiman kasus di atas.”
Dalil yang lain adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab shohihnya kisah ashabul ukhdud, sebagaimana yang tersebut pada pembahasan sebelumnya.
Imam An-Nawawi ketika menerangkan haits ini mengatakan:“Boleh berdusta dalam keadaan perang, atau yang semisalnya untuk menyelamatkan jiwa atau yang lainnya, baik jiwanya sendiri atau jiwa orang lain yang wajib dilindungi.” Sedangkan hadits di atas tidaklah dalam kondisi perang.
Di tempat yang lain Imam Nawawi berkata:”Mereka (para ulama’) berkata: “Tidak diperselisihkan lagi bahwa jika ada seorang yang dholim ingin membunuh seseorang yang dia bersembunyi pada suatu tempat maka dia wajib berbohong sehingga tidak diketahui di mana seseorang yang akan dibunuh tadi berada.”
Dan diperbolehkan juga berdusta atas orang kafir demi kemaslahatan diniawi, sebagaimana kisah Al-Hajjaj bin ‘Allath yang diterang kan oleh Ibnu Hajar dalam bab Dusta dalam Peperangan.
Dia berkata ; Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dari Anas ra. Tentang kisah Al-Hajjaj bin ‘Ilath, yang diriwayatkan juga oleh An-Nasa’I dan dishohihkan juga oleh Al-Hakim ketika dia meminta izin kepada Nabi saw untuk menyelamatkan hartanya dari penduduk Mekah, dan diizinkan oleh Nabi. Dan ketika dia memberi kabar pada penduduk Mekah bahwa penduduk Khobar telah menyerang orang-orang muslim. Dan dalam berbagai kisah yang lain. Dan kisah Al-Hajjaj ini bukan dalam keadaan perang.”
Ibnu Katsir juga meriwayatkan kisah Al-Hajjaj ini secara panjang lebar dalam bukuknya Al-Bidayah wan Nihayah jilid 4 hal. 215.
Moral Yang Tinggi.
Di dalam pertempurang moral yang tinggi sangatlah dibutuhkan. Di antara yang menunjukkan bahwa moral ini sangat diperhatikan dalam syari'at adalah disyari'atkannya hal-hal sebagai berikut:
q Tahridl (mengobarkan semangat)
Al-Bukhori membuat sebuah bab dalam kitab shohihnya bab tahridl fil qital (mengobarkan semangat dalam peperangan. Di dalamnya disebutkan bahwasanya ketika Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam melihat para sahabatnya dalam keadaan lapar beliau membacakan sya’ir:
اللهم إن العيش عيش الآخرة فاغفر اللهم للأنصار و المهاجرة
“Ya Alloh, kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat. Oleh karena itu ya Alloh berilah ampunan kepada para muhajirin dan anshor.”
Kemudian para muhajirin dan anshor menyambut dengan sya’ir juga:
نحن الذين بايعوا محمدا على الجهاد ما بقينا أبدا
“Kami telah berbai’at kepada Muhammad untuk berjihad selama-lamanya.”
Dr. Al-Qodiri mengatakan bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bernasyid bersama para sahabat yang dapat mengobarkan semangat serta mengangkat suara pada kata-kata terakhir. Hal itu beliau lakukan untuk mendorong semangat mereka ketika menggali parit. Al-Barro’ bin ‘Azib ra. Berkata:” Aku melihat rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memindahkan tanah bersama kami, seraya berkata:
والله لو لا الله ما اهتدينا ولا تصدقنا ولا صلينا
فأنزلن سكينة علينا و ثبت الأقدام إن لاقينا
و المشركين قد بغوا علينا إذا أرادوا فتنة أبينا
Demi Allah kalau tidak karena-Nya kami tidak akan mendapatkan hidayah, tak akan bersedekah, tidak pula sholat maka turunkanlah ya Allah kepada kami ketenangan dan kokohkanlah kaki-kaki kami jika bertemu musuh, orang-orang musyrik telah melampui batas kepada kami, jika mereka menebar fitnah kami menolaknya.
Dan beliau mengangkat suaranya.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Berdasarkan itu pula Syaikh jamil Zainu membolehkan bernasyid dalam bekerja untuk memberikan semangat.
q Sombong
Ibnu Taimiyah pernah ditanya:”Apakah seorang tentara itu boleh memakai sesuatu dari sutra, emas dan perak ketika berperang atau ketika datng utusan musuh kepada kaum muslimin?” Maka beliau menjawab:”Al-Hamdulillah. Adapun memakai sutra ketika perang karena darurat, maka para ulama’ bersepakat bahwa hal itu boleh seperti jika tidak ada yang lain sebagai penggantinya untuk senjata atau penjagaan. Adapun memakai sutra untuk menggentarkan musuh, para ulama berselisih pendapat menjadi dua pendapat: yang paling kuat adalah bahwasanya hal itu boleh, karena sesungguhnya pernah tentara Syam mengirim surat kepada Umar ibnul Khothob yang berbunyi:”Sesungguhnya kami apabila bertemu dengan musuh yang menutupi senjata mereka dengan sutra, kami merasa gentar karenanya.” Maka Umar mengirim surat kepada mereka:”Tutuplah senjata kalian dengan sutra sebagaimana mereka menutupinya juga dengan sutra!”
Dan juga kerena memakai kain sutra itu mengandung unsur kesombongan dan Alloh mencintai kesombongan dalam peperangan sebagaimana yang terdapat dalam As-Sunan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:
وإن من الخيلاء ما يحبه الله و من الخيلاء ما يبغضه الله فأما الخيلاء التي يحبها الله فاختيال الرجل عند الحرب و عند الصدقة وأما الخيلاء التي يبغضها الله فالخيلاء في البغي و الفخر
”Sesungguhnya kesombongan itu ada yang dicintai Alloh dan ada yang dibenci Alloh. Adapun kesombongan yang dicintai Alloh adalah kesombongan seseorang dalam pertempuran dan ketika sedekah, dan kesombongan yang dibenci Alloh adalah kesombongan dalam kesemena-menaan dan berbangga.” (Musnad Imam Ahmad V/445, Sunan An-Nasa’I V/58, Sunan At-Tirmidzi no. hadits: 2642, Tuhfatul Ahwadzi VII/320 dan Sunan Abi Dawud no. hadits: 114, III/114) Dan ketika perang Uhud, Abu Dujanah melakukan kesombongan antara barisan kaum muslimin dan orang-orang kafir, maka Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya berjalan seperti itu dibenci oleh Alloh kecuali di tempat ini.”
q Bai’atul maut
Dalam sebuah hadits dari Jabir ra. Beliau berkata:” Kami ketika perang Hudaibiyah berjumlah 1400 orang lalu kami berbai’at kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Umar mengambil tangan beliau di bawah pohon yang bernama Samuroh.” Ia berkata:”Kami berbai’at kepada beliau untuk tidak lari, dan kami tidak berbai’at kepada beliau untuk mati.” (Shohih Muslim III/1483)
An-Nawawi berkata:”Dan dalam riwayat Salamah bahwasanya mereka ketika itu berbai’at untuk mati.” (Al-Bukhori no. 2960, Fathul Bari VI/117)
Para ulama’ berkata:”semua riwayat ini arti dan maksudnya terkumpul dalam satu makna, adapun berbaiat untuk tidak lari artinya adalah bersabar sampai menang melawan musuh kita atau mati, dan inilah arti baiat untuk mati, yaitu sabar walaupun hal itu menyebabkan kematian, bukan yang menjadi tujuan kematian itu sendiri. Begitu pula bai’at untuk berjihad, artinya adalah bersabar dalam berjihad.” (Syarhun Nawawi ‘ala Shohih Muslim XIII/2,6 lihat pula Hawasyi Tuhfatil Muhtaj ‘alal Minhaj IX/ 239)

q Tidak mengikut sertakan murjif dan mukhodzil dalam jihad
Dr. Abdulloh Azzam berkata:”Seorang amir harus menahan murjif dan mukhodzil agar tidak ikut serta dalam pasukan.
Mukhodzil adalah orang yang melemahkan semangat orang untuk berjihad dan menjadikan mereka enggan untuk berperang. Seperti beralasan dengan banyak salju atau hujan atau takut kepada serangan dan penjajahan musuh terhadap negara mereka.
Adapun murjif adalah orang yang menyebarkan aib-aib pasukan Islam, mengecil-ngecilkan keadaan kaum uslimin, menyebar luaskan berita-berita kekalahan kaum muslimin dan membesar-besarkan keadaan dan kekuatan musuh.
Dan dalil atas tidak bolehnya mengijinkan mereka untuk ikut berperang adalah firman Alloh
فإن رجعك الله إلى طائفة منهم فاستأذنوك للخروج فقل لن تخرجوا معي أبدا ولن تقاتلوا معي عدوا
Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya VIII/218:”Hal ini menunjukkan bahwa mengikut sertakan murjif dalam pertempuran tidak boleh.”
Dan Alloh berfirman:
ولو أرادوا الخروج لأعدوا له عدة ولكن كره الله انبعاثهم
Dikatakan: artinya adalah mereka membuat perpecahan. Dan dikatakan: mereka cepat-cepat memecah belah persatuan kalian.
Dan jika ada yang ikut berperang, ia tidak diberi bagian dari ghonimah sebagaimana para mujahidin yang lain. Dan tidak pula diberi rodlokh (pemberian yang diambil dari ghonimah namun bukan bagian) meskipun ia menunjukkan kepalawanannya dalam pertempuran, karena bahaya terhadap kaum muslimin lebih besar dari pada bahayanya terhadap orang kafir.
Dan ini adalah madzhab Imam Ahmad dan Ay-Syafi’I Al-Mughni X/420, 372.
Disebutkan dalam kitab Nihayatul muhtaj karangan Ar-Romli Asy-Syafi’I VIII/60:”Dan disunnahkan terhadap Imam atau wakilnya agar menahan mukhodzil dan murjif agar tidak ikut serta dalam barisan peperangan dan mengeluarkannya dari barisan selama tidak menimbulkan fitnah. …..Bahkan hal itu wajib jika ia meiliki perkiraan kuat bahwa keberadaannya akan mebuat fitnah dan membahayakan yang lain.”
Dan disebutkan dalam kitab Al-Inshof karangan Al-Bahuni Al-Hambali IV/142: ”Imam harus mencegah mukhdzil dan murjif untuk ikut berjihad, orang yang menebar kabar kaum muslimin, orang yang menebar fitnah dan orang yang telah diketahui sebagai munafiq dan zindiq.”

III. BEBERAPA ADAB DALAM PERTEMPURAN

Memanjangkan Kuku
Ahmad berkata; bahwasanya Umar berkata;”Panjangkanlah kuku-kuku di negeri musuh, karena kuku itu adalah senjata.” (Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabul jihad, bab Al-Amru bi tahsiinis silah wa I’dadihi liljihad. Al-Matholibul ‘aliyah II/165) Imam Ahmad berkata:”Kuku diperlukan ketika dinegeri musuh, apakah anda tidak melihat jika seseorang ingin membuka tali atau sesuatu, jika ia tidak punya kuku, ia tidak bisa melakukannya. Dan beliau meriwayatkan dari Al-Hakam bin Amr; bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk memanjangkan kuku ketika berjihad, sesungguhnya kekuatan itu ada pada kuku.” (Al-Mughni XIII/17)
Do’a dalam pertempuran
اللهم أنت عضدي و أنت ناصري و بك أقاتل
“Ya Alloh Engkaulah pelindungku dan Engkaulah penolongku dan karena Engkaulah aku berperang.” (Berkata Dr. Mahmud Mathrohi hadits ini riwayat At-Tirmidzi: 3584, Abu daud: 2632 dan Ahmad: III/184)
اللهم إنا نجعلك في نحورهم و معوذ بك من شرورهم
“Ya Alloh kami menjadikan Engkau di leher-leher mereka dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka.” (Berkata Dr. Mahmud Mathrohi:”Hadits ini riwayat Abu Dawud: 1537, Al-Baihaqi: V/253, Ahmad: IV/414-415 dan hadits ini dishohihkan oleh Al-Hakim: II/132 dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
اللهم منزل الكتاب مجري السحاب و هازم الأحزاب اهزمهم و انصرنا عليهم
“Ya Alloh, Yang menurunkan kitab, Yang menjalankan awan dan Yang mengalahkan persekutuan, kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami.” (Al-Bukhori VI/85 dan Muslim; 2471)
Bendera
Dalam Shohih Bukhori disebutkan, dari Abu Hazim beliau berkata:” Sahl bin Sa’ad bercerita kepadaku bahwasanyan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada perang Khoibar:
لأعطين الراية غدا رجلا يفتح الله علي يديه بحب الله ورسوله. قل : فبات الناس يدوكون ليلتهم أيهم يعطاها, فقال : أين علي بن أبي طالب ؟ فقيل : هو – يا رسول الله – يشتكى عينيه, قال: فأرسلوا إليه فأتي به فبصق رسول الله في عينيه ودعا له, فبرأ حتى كأن لم يكن به وجع, فأعطاه الراية, فقال علي : يا رسول الله أقاتلهم حتى يكونوا مثلنا ؟ فقال : انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى الإسلام, فأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه فو الله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم
“Besok akan kuberikan bendera kepada orang yang Alloh berikan kemenangan melalui tangannya lantaran cinta Alloh da Rosul-Nya.” Abu Hazim berkata:”Lalu pada malam itu orang-orang membincangkan kepada siapa kiranya yang akan dibarikan bendera itu.” Lalu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Mana Ali bin Abi Tholib?” Maka dijawab:”Wahai Rosululloh, dia sakit matanya.” Maka beliau bersabda:”Panggilah dia!” Maka setelah didatangkan,beliau meludahi kedua matanya dan mendoakannya, maka sembuhlah dia sampai seakan-akan belum kena sakit, lalu benderapun diberikan kepadanya. Lalu Ali berkata:” Wahai Rosululloh, apakah kuperangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita?” Beliau menjawab:”Janganlah tergesa-gesa, jika engkau sampai ke perkampungan mereka, ajaklah mereka masuk Islam. Lalu beritahukan kepada mereka tentang hak Alloh atas mereka yang harus dilaksanakan. Demi Alloh jika Alloh memberikan hidayah kepada seseorang lantaran engkau, hal itu lebih baik dari pada onta merah.” (Al-Bukhori no. 4210 dan Muslim IV/1871)
Al-Hafidz berkata:”Hadits-hadits ini menunjukkan atas sunnahnya membawa bendera dalam peperangan dan bahwasanya bendera itu dipegang oleh pemimpin atau orang yang ditunjuk olehnya ketika peperangan. (Fathul Bari VI/129)
Dalam hadits Anas disebutkan:”Bendera diambil oleh Zaid bin Haritsah lalu ia terkena kemudian diambil Ja’far lalu ia terkena …….. “ (Fathul Bari VI/129)
Membentuk barisan
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berperang di jalan Alloh dalam keadaan berbaris, seolah-olah mereka bangunan yang kokoh.” (Ash-Shof: 4)
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dari Hamzah bin Abi Usaid beliau berkata dari bapaknya bahwasanya ketika kami membentuk barisan untuk menghadapi pasukan Quraisy dan mereka membentuk barisan untuk menghadapi kami, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا أكثبوكم , فعليكم بالنبل
“Jika mereka mendekat maka panahlah!” (Al-Bukhori VI/68 dalam kitab Jihad bab At-Tahridl ‘alar Romyi)
Abu Ishaq berkata:”Aku mendengar Al-Barro’ bin ‘Azib berkata:”Pada saat perang Uhud, Nabi saw. Menjadikan Abdulloh bin Jubair sebagai pemimpin sebuah pasukan pejalan kaki yang berjumlah lima puluh orang, lalu beliau bersabda:”Jika kalian melihat kami telah mundur kalah, tetaplah kalian di tempat kalian sampai kukirim utusan kepada kalian dan jika kalian melihat kami menang dan mengalahkan musuh, tetaplah kalian di tempat kalian sampai kukirim utusan kepada kalian…………” (Diriwayatkan Al-Bukhori VI/113,114 dalam kitab Jihad bab maa yukrohu minat tanazu’ wal ikhtilaf fil harb, dalam kitab Al-Maghozi bab fadli man syahida badron dan bab ghozwatu Uhud dan bab idz tush’idun walaa talwuuna ‘alaa ahadin dan dalam kitab tafsir surat Ali ‘Imron bab ayat: war rosuulu yad’ulum fii ukhrokum)
Merusak tanaman
Ibnun Nuhas berkata:”Tanaman dan pepohonan di daarul harbi ada tiga macam:
Pertama: yang perlu untuk kita musnahkan, seperti yang yang dekat dengan benteng musuh dan menghalangi kita untuk memerangi mereka, atau yang perlu untuk kita potong untuk memperluas jalan atau memperkokoh kedudukan dalam perang atau menghalang-halangi manjaniq atau yang lain, atau mereka menebangi pepohonan milik kita, lalu kitapun memotongi tanaman mereka supaya mereka berhenti. Semacam ini diperbolehkan tanpa ada perselisihan sejauh yang kami ketahui.
Kedua: tanaman yang jika dipotong akan membahayakan kaum muslimin, karena tanaman tersebut bermanfaat bagi kaum muslimin untuk makanan atau berteduh atau makan buahnya atau hal semacam ini tidak biasa terjadi antara kita dan mereka sehingga jika kita melakukannya, merekapun akan melakukannya terhadap kita. Hal semacam ini haram karena membahayakan kaum muslimin.
Ketiga: tanaman yang tidak berbahaya dan tidak pula bermanfaat bagi kaum muslimin selain membikin marah dan merugikan musuh. Semacam ini diperbolehkan oleh Imam Malik dan Asy-Syafi’I sedangkan dari Imam Ahmad ada dua riwayat, dan jika diperkirakan hal itu akan menimpa kita maka beliau tidak menyukainnya. (Al-Khurosyi III/117; Mughnil Muhtaj IV/226-227; Kasyaful Qona’ III/49)
Dr. Abdulloh Azzam berkata:” Para imam madzhab yang empat telah bersepakat bahwa setiap hal yang membawa maslahat bagi kaum muslimin dan membawa kerugian bagi orang-orang kafir saat terjadi perang atau saat i’dad, boleh dilakukan baik itu membunuh orang, membunuh hewan, menebangi tanaman maupun merusak bangunan, karena maksud dilancarkannnya perang adalah untuk menghilangkan fitnah, menyebarkan dakwah dan meninggikan dien Allah Ta’ala. Kalau membunuh manusia yang merintangi dakwah diperbolehkan, tentunya merusak harta benda dan membunuh hewan lebih diperbolehkan lagi, meski hal itu akan menyebabkan bahaya bagi mereka atau memaksa mereka untuk tunduk pada dien Islam.” (secara lebih lengkap lihat: Bab II tentang Daarul Harbi)
Membunuh Dengan Api
Rosulullah Saw. Melarang para sahabat untuk membunuh dengan api karena membubuh dengan api akan menyiksa orang yang akan dibunuh sebelum menemui ajalnya. Selain itu membunuh dengan api adalah hak Allah Ta'ala yang akan mengadzab orang-orang yang meyelisihi perintah dan larangan Nya kelak di Neraka dengan api. Sebagaiman yang ditegaskan oleh Rosulullah Saw.
Dalam sebuah Hadits :
ولا تحرقوه فإنه لا يعذب بالنار إلا رب النار
"Dan jangan kamu membakarnya karena sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah.
Dalam hal membunuh dengan membakar ini telah tertjadi perbedaan pendapat dikalangan salaf, sebagian membolehkan dan sebagian melarang.
Berkata Al Qostholani : "Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan salaf dalam hal membakar, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas melarang, baik itu dilakukan untuk qishos maupun sebab kekafiran. Sedangkan Ali bin Abi Tholib dan Kholid bin Walid membolehkan.
Diriwayatkan oleh Malik bahwa Sufyan Ats Tsauri juga membolehkanya.
Golongan yang memperbolehkan berpijak pada keumuman firman Allah :
واقتلوا المشركين حيث وجدتموهم …
"Dan bunuhlah orang-orang Musyrik itu dimana saja kamu jumpai …. (Qs. At Taubah: 5)
Berkata Al Qurtubi: "Ketahuilah bahwa keumuman firman Allah "Dan bunuhlah orang-orang musyrik". Menunjukkan kebolehan mereka dengan apapun kecuali mutslah (membunuh dengan memotong ujung-ujung anggota badan atau mencincang)."
Dengan demikian apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shidik kepada Ahlu Riddah dalam membakar, melempari dengan batu dari tempat yang tinggi dan menutup sumur-sumur mereka berdasarkan keumuman ayat di atas. Begitu juga yang dilakukan Ali dengan membakar sebagian ahlu riddah boleh jadi mengikuti madzhab ini dan bersandar kepada keumuman lafadz ayat di atas.
Sedangkan jumhur membolehkan untuk membalas sesuai dengan perbuatannya.
Kemudian golongan yang melarang membunuh dengan membakar berpegang kepada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud di atas.

IV. BEBERAPA PERBEDAAN PERLAKUAN ANTARA ORANG KAFIR ASLI DAN ORANG MURTAD

Pertama: Perlakuan Terhadap Orang Kafir Asli.
Berdakwah dan memberikan peringatan sebelum diperangi
Dr. Abdulloh Azzam berkata:”Para ulama’ berselisih pendapat tentang memberi peringatan kepada musuh sebelum peperangan, menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama mengatakan bahwasanya wajib memberi peringatan kepada musuh baik mereka sudah mendengar dakwah atau belum. (Ini adalah pendapat Imam Malik).
Secara mutlak tidak wajib memberi peringatan baik mereka pernah pernah mendengar dakwah atau belum, akan tetapi hukumnya sunnah saja. (Ini adalah pendapat jumhur ulama’, hal ini dinyatakan oleh Asy-Syafi’I, Al-Hanafiyah, Al-Hambaliyah, Al-Hasan Ats-Tsauri dan Al-Laits).
Dan masing-masing memiliki dalil.
Pertama adalah dalilnya Imam Malik yang berpendapat wajib memberi peringatan baik yang telah mendengar dakwah atau belum adalah hadits Ibnu ‘Abbas ra. Beliau berkata: “ Tidaklah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam itu memerangi suatu kaum pun kecuali Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mendakwahi mereka.”(HR. Ahmad dan Ath-Thobroni,, sanadnya adalah sanad yang shohih dan juga hadits Sulaiman bin buroidah .. Nailul Author VII/230).
Al-Khothob berkata: “Imam Malik berkata:” Orang kafir tidak boleh diperangi kecuali setelah didakwahi.” (Mawahibul Jalil karangan Al-Khothob III/350)
Dan nampaknya Imam Abu Yusuf sependapat dengan pendapat ini.Abu Yusuf berkata dalam kitab Al-Khoroj hal. 207:”Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerangi suatu kaumpun sebagaimana yang kami ketahui kecuali setelah beliau dakwahi kepada Alloh dan Rosul-Nya.”
Hadits dari Sulaiman bin Buroidah, Nailul Author VII/230 berbunyi: dari Sulaiman bin Buroidah Dari bapaknya beliau berkata: “Apabila Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang untuk memimpin, beliau mewasiatkan kepada dirinya pribadi untuk bertaqwa kepada Alloh dan juga kepada pasukan yang menyertainya dengan wasiat yang baik. Kemudian beliau bersabda:”Berperanglah atas nama Alloh, di jalan Alloh. Perangilah orang yang kafir kepada Alloh. Berperanglah dan janganlah kalian berbuat dholim, jangan berkhianat, jangan mencincang mayat dan janganlah kalian membunuh perempuan dan jika kalian berjumpa dengan musuh kalian yaitu orang-orang musyrik, maka tawarkanlah kepada mereka tiga perkara, mana saja yang mereka pilih maka terimalah. Tawarkan kepada mereka untuk masuk Islam, jikam mereka menerima maka terimalah mereka dan janganlah kalian perangi, lalu ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka ke negeri muhajirin. Dan beritahukanlah kepada mereka, jika mereka melakukan hal itu maka hak dan kewaiban mereka sebagaimana hak dan kewajiban muhajirin. Namun jika mereka tidak mau berpindah maka mereka seperti keadaannya orang-orang baduwi dari kaum muslimin, berlaku bagi mereka hukum yang berlaku bagi kaum muslimin namun mereka tidak mendapatkan fai’ dan ghonimah kecuali jika mereka ikut perang bersama kaum muslimin. Jika mereka tidak mau masuk Islam,Maka mintalah mereka untuk membayar jizyah. Jika mereka mau membayar jizyah, maka terimalah mereka dan jangan kalian perangi. Dan jika mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Alloh dan perangilah mereka.” Diriwayatkan Oleh Muslim Ahmad dan dishohihkan oleh At-Tirmidzi
Adapun pendapat yang ketiga adalah pendapat jumhur.
Madzhab Syafi’I:
Ar-Romli berkata dalam kitab Nihayatul Muhtaj VIII/64:”Siapa saja yang kita ketahui belum sampai dakwah kepadanya, maka kita tidak boleh memeranginya kecuali setelah kita terangkan tentang Islam kepadanya –walaupun sebagian mereka mengaku menerima dakwah tersebut- Kalau tidak demikian maka kita berdosa dan kena tanggungan sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan diyat, adapun yang telah sampai dakwah maka maka kita boleh membunuhnya.”
Madzhab hanafi:
As-Sarkhosi berkata dalam kitab Syarhus Sair I/77:”Maka jika telah sampai dakwah kepada mereka, kaum muslimin boleh mendakwahi mereka sebagai peringatan atau langsung memerangi mereka tanpa mendakwahi terlebih dahulu karena mereka sudah tahu apa yang dikehendaki oleh kaum muslimin. Bahkan bisa jadi kalau diawali dengan dakwah dulu akan membahayakan kaum muslimin, maka tidak apa-apa untuk diperangi tanpa dakwah terlebih dahulu.”Dan seutama-utama dalil yang digunakan oleh pendapat kedua adalah hadits yang terdapat dalam shohih Bukhori dan Muslim, dari Ibnu ‘Auf beliau berkata:”Aku bertanya melalui surat kepada Nafi’ tentang dakwah sebelum perang. Lalu diapun menjawab dengan mengirim surat kepadaku;”Hal itu hanyalah terjadi di awal-awal Islam, dan sungguh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyergap Bani Mushtholiq sedangkan mereka dalam keadaan lengah dan ternak-ternak mereka dalam keadaan minum, lalu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pun menawan anak-anak mereka dan setelah itu beliau mendapatkan Juwairiyah binti Al-Harits. Hal ini diceritakan kepadaku oleh Abdulloh bin Umar dan belliau mengikuti dalam pertempuran itu. (Muttafaq ‘Alaih…Nailul Author VII/232)
Jadi perselisihan ini berasal dari pertentangan hadits ini dengan hadits Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ”Tidaklah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam itu memerangi suatu kaum pun kecuali beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendakwahi mereka.”(Hadits shohih riwayat Imam Ahmad).
Imam Malik mengambil hadits Ibnu ‘Abbas ra. Karena berupa ucapan, sedangkan hadits yang berupa ucapan lebih didahulukan dari pada hadits yang berupa perbuatan.
Adapun kelompok yang kedua yang berpendapat tidak wajib memberi peringatan baik sudah sampai dakwah kepada mereka atau belum, mengambil hadits Nafi’ dan menganggap perbuatan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam ketika memerangi Bani Mushtholiq itu sebagai nasikh (penghapus hukum) untuk hadits Ibnu ‘Abbas .
Adapun jumhur mengkompromikan antara dua hadits tersebut, dan pada perkataan Nafi’ memberikan isyarat pengkompromian tersebut, yaitu perkataan beliau: “sesungguhnya hal itu terjadi pada awal mula Islam.” Artinya; ketika dakwah itu belum menyeluruh kepada manusia, adapun ketika dakwah itu sudah sampai menyeluruh kepada manusia maka tetap dibutuhkan peringatan sebelum perang.
Dan pengkompromian antara dua hadits ini lebih utama, karena al-jam’u (pengkompromian) lebih didahulukan daripada an-nasakh dan at-tarjih, dan juga hadits Ibnu ‘Abbas adalah umum sedangkan hadits Nafi’ adalah khusus dan yang khusus lebih didahulukan dari pada yang umum.
Atas dasar hadits inilah Imam Ahmad memahami pendapat beliau. Beliau berkata dalam kitab Al-Mughni VIII/361: “ Sesungguhnya dakwah telah tersampaikan dan telah tersebar, akan tetapi kalau ada kemungkinan kaum yang berada di balik negeri Romawi dan negeri Turki belum sampai dakwah kepada mereka, maka mereka tidak boleh diperangi sebelum didakwahi. Dan begitulah Rosululloh berdakwah kepada Islam. Dan saya melihat pada hari ini tidak ada seorangpun yang harus didakwahi terlebih dahulu, karena dakwah telah menyeluruh kepada seluruh manusia.”
Dan pendapat jumhurlah pendapat yang lebih kuat yang diperkuat dengan dalil naqli dan dalil ‘aqli. Imam Al-Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib beliau berkata: “Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok orang anshor untuk membunuh Abu Rofi’, maka Abdulloh bin ‘Atik masuk ke dalam rumahnya lalu membunuhnya dalam keadaan tidur.” (HR. Al-Bukhori) Hadits ini menunjukkan bahwa Abdulloh bin ‘Atik membunuh Abu Rofi’ (Abdulloh bin Abil Huqoiq) dalam keadaan tidur, tanpa memberi peringatan terlebih dahulu.”
Ibnu Nuhas berkata:”Sebelum perang, orang yang belum terdakwahi dan yang tidak tahu tentang Islam wajib didakwahi dan ditawarkan kepadanya untuk masuk Islam dan membayar jizyah, jika mereka termasuk golongan yang diperbolehkan menjadi ahludz dzimmah, dan ini adalah madzhabnya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah. (Al-Khurosyi ‘Ala Mukhtashor Kholil III/112, Mughnil Muhtaj IV/223, Al-Mughni X/385 dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin IV/129). Adapun orang yang telah mendengar dakwah Islam, maka disunnahkan untuk didakwahi sebelum perang, dan tidaklah wajib akan tetapi diperbolehkan memerangi mereka tanpa didakwahi lebih dahulu menurut pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. Dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’I, Ahmad dan Abu Hanifah. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin IV/129, Kasyaful Qona’ III/40, dan Nihayatul Muhtaj VIII/64) Adapun Imam Malik banyak perkataan beliau tentang hal ini.
Imam Ibnu Abdus Salam berkata dalam kitab Syarh Muhtashor Ibni Hajib:”Dan sesuatu yang tidak diragukan lagi, bahwasanya apabila kita tidak mengetahui keadaan musuh, apakah sudah sampai kepada mereka dakwah atau belum, maka dakwah ketika itu hukumnya adalah sunnah, karena rata-rata dakwah itu telah sampai kepada mereka, namun jika mereka bisa diharapkan untuk menerima dakwah, maka wajib didakwahi terlebih dahulu. Dan apabila mereka mendahului menyerang maka tidak diragukan lagi atas tidak wajibnya dakwah. (Al-Khurosyi ‘Ala Kholil III/112). Hukumnya tidak jauh berbeda dengan sariyah. Dan yang nampak dari sunnah-sunnah bersariyah menunjukkan atas tidak wajibnya dakwah. Begitu pula yang semisal dengan sariyah, sebagaimana yang terjadi pada pembunuhan Ka’ab bin Al-Asyrof, Ibnu Abil Huqoiq dan yang lain. Dan pada waktu perang Khoibar Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ali untuk mendakwahi telebih dahulu, dan beliau mendatanginya tiga kali. Dan sebagaian mereka memilihnya. Selesai secara ringkas.(Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid I/403, membahas masalah ini dengan sedikit kekurangan)
Perlakuan terhadap harta mereka
q Ghonimah
Ta’rifnya secara bahasa:
الغنيمة:الفعيلة أي مفعولة من الغنم وهو الربح
Isim Maf’ul dari Al-Ghonam yang berarti untung.
Di namakan begitu karena kelebihan dan memberikan manfaat.
Ibnu Taimiyah mendifinisikannya sebagai harta yang di ambil dari orang-orang kafir dengan jalan peperangan, firman Allah subhanahu wata’ala :di dalam surat (Al-anfal ayat:1-41). kemudian firman Allah:
فكلوامما غنمتم حلالا طيبة واتقوا الله ان الله غفور رحيم
Di dalam hadits shohihaini di sebutkan dari jabir bin Abdillah bahwa rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
أعطيت خمسا لم يطهن نبي قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا, أيما رجل من أمتي أدرك الصلاة فليصل,وأحلت لي الغنائم ولم تحل لاحد قبلي,وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث الي قومه خاصة وبعثت الي الناس عامة.
“Aku diberi lima hal yang tidak dierikan kepada seorang nabipun sebelumku; aku diberi kemenangan dengan takutnya musuh kepadaku dalam jarak satu bulan perjalanan, dijadikan bagiku semua tenah itu sebagai tempat sholat dan suci, maka siapa saja dari umatku yang masuk waktu sholat, hendaklah ia sholat, dihalalkan bagiku ghonimah (harta rampasan perang) dan tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku, aku diberikan syafa’at dan para nabi diutus untuk kaum mereka sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.”
Dan sabda nabi:
(بعثت بالسيف بين يدي الساعة حتى يعبد الله وحده لا شريك له, وجعل رزقي تحت ظل رمحي وجعل الذل والصغار علي من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم) رواه أحمد في المسند عن أبي عامرواستشهد به البخاري).
“Aku diutus menjelang hari kiyamat dengan pedang, sampai Alloh disembah sendirian dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku, dan dijadikan kekerdilan dan kehinaan bagi siapa saja yang meyelisihi urusanku, dan barangsiapa menyerupai sebuah kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
Al-Anfal yang turun ketika perang badar, dinamakan anfal karena itu merupakan tambahan untuk kaum muslimin.
Al-Ghozali berkata dalam kitab Al-Azizi syarhur wajiz karangan Abul Qosim Ar-Rofi’I: “Ghonimah adalah apa saja yang di dapatkan oleh sekelompok mujahidin setelah kemenangan bukan dengan jalan mencuri dan menipu, karena kalau diambil dengan cara mencuri atau menipu harta itu menjadi miliknya pencuri harta tersebut, juga bukan karena harta tersebut ditinggalkan oleh orang-orang kafir tanpa peperangan, karena harta semacam itu mananya Fai’, serta bukan pula harta temuan, karena jika harta temuan yang berhak adalah yang mendapatkannya.”
Imam Asy-Syairozi berkata: “Ghonimah adalah apa yang di dapatkan dari orang-orang kafir dengan melarikan kuda dan kendaraan secara cepat,apabila di dalamnya ada rampasan milik tentara atau harta milik orang muslim,maka di serahkan kepadanya,karena itu miliknya sebelum terkumpul ghonimah.”
Al-Azhari berkata:”Ghonimah adalah harta orang-orang musyrik yang di dapatkan oleh kaum muslimin dengan menggunakan kuda serta kendaraan mereka.”
Pembagian ghonimah.
Seperlima di bagi menjadi lima bagian seperti Fai’ sedangkan sisanya empat perlima dibagikan kepada para penerima ghonimah. Imam Asy-Syafi’I berkata: “Sudah ma’lum banyak diketahui dari orang-orang yang kami jumpai (Ahlul Ilmi) bahwa Aba Bakar berkata :
إنما الغنيمة لمن شهد الوا قعة.
“Ghonimah hanyalah diberikan kepada orang yang ikut pertempuran.”
Maka harta itu dibagi menjadi 5 bagian, 1/5 untuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Dzawil kurba, yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Sedangkan yang 4/5 untuk di bagikan kepada penerimanya dan tidak di serahkan kepada orang lain, serta tidak melebihkan orang yang kaya atas yang lainnya, dan di kecualikan dari mereka: Muhzodzil, Murjif, penghianat dan orang-orang yang semacam dengan mereka, mereka ini tidak mendapatkan bagian.”
Di dalam kitab Majmu’ Fatawa di sebutkan; merupakan kewajiban pembagi ghonimah yaitu: yang di berikan kepada orang-orang yang di sebutkan Allah ta’ala dan sisanya kepada yang menerima ghonimah. Umar bin Khoththob berkata:”Ghonimah bagi yang mengikuti pertempuran, baik telah membunuh atau belum membunuh sama sekali.dan wajib pembagiannya adil di antara mereka, maka tidak di lebihkan kepada seseorangpun diantara mereka, tidak karena kepemimpinannya atau nasabnya atau keutamaannya, sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasululah dan kholifahnya di dalam membagi ghonimah. Di dalam Shohih Al-Bukhori di sebutkan bahwa Saad bin Abi Waqqos merasa dirinya memiliki hak lebih ghonimah dari pada yang lainnya, maka Nabi Sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
هل تنصرون وترزقون إلا بضعفائكم؟
“Bukankah kalian diberi rizki dan kemenangan karena lantara orang-orang lemah kalian.”
Di terangkan dalam kitab Masyirul Aswaq: “Apa-apa yang di peruntukkan Allah dari ghonimah merupakan saham kemaslahatan yang di bagi menjadi 5 saham:
Untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti biaya peperangan,membangun benteng,jembatan,masjid dan yang di perlukan,untuk gaji para qodhi, ulama’, para muaddzin, tapi tidak untuk orang faqir.
Untuk kerabat nabi mereka adalah bani Hasyim, bani Abdul Muthollib, untuk yang faqir di antara mereka,yang kaya dan perempuan-perempuan mereka.
Untuk anak yatim mereka adalah; setiap anak kecil yang tidak memiliki tempat dan di syaratkan yang faqir secara masyhur.
Orang-orang miskin.
Ibnu sabil.
Sedangkan Abu Hanifah membaginya kepada tiga golongan, para yatim, miskin dan ibnu sabil. Hukum kepada bani hasyim dan bani abdul Muthollib terhapus setelah wafatnya beliau Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, tetapi para faqir di kalangan mereka masuk pada ke dalam tiga golongan di atas.
Sedangkan hadits yang menyebutkan :
عن إبن عمر : أن رسول الله صل الله عليه وسلام جعل للفرس سهمين ولصاحبه سهما
“Dari ibnu Umar : bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa Salam menjadikan kuda mendapat dua saham dan untuk penunggangnya satu saham”.[ Hadits riwayat al Bukhori 3222,438,335 Muslim 521 Ahmad III/304 ]
Imam Asy-Syfi’I berkata:”Penunggang kuda dapat tiga bagian, satu untuknya dan dua untuk kudanya dan pada pejalan kaki dapat satu saham, dan hadits ini, ini pendapat umar, Ali,Umar bin abdul Aziz, Hasan al- Basri, Ibnu sirin, Malik dan penduduk Madinah, Al-Auzai dan penduduk Syam Al-Laits dan penduduk Mesir, Ahmad, Ishaq dan para Ahli hadits, Ats-tsaury,abu yusuf dan Muhammad bin Al hasan dan Ahlul iraq.
Abu Hanifah berkata: Bagi penunggang kuda 2 saham saja. 1 saham untuk kudanya dan satu untuk dirinya,supaya kudanya tidak melebihi bagiannya, dan satu saham bagi pejalan kaki dengan riwayat Ibnu Umar dan Majda’ bin Haritsah.
للفارس سهمان وللراجل سهم
“bagi penunggang kuda dua saham dan bagi pejalan kaki satu saham”[ Hadits riwayat Daarul quthni IV/104]
مجمع:قال قسمت خيبر علي ثمانية عشر سهما,فكان الجيش ألفا وخمسمائة فيهم ثلاثمائة فارس فاعطي الفارس سهمين والراجل سهما (أخرجه أبو داود في الجهاد).
“Saya membagi ghanimah khaibar menjadi 18 saham, dan jumlah pasukan pada saat itu seribu lima ratus, di dalamnya ada 300 penunggang kuda dan saya berikan kepada penunggang kuda dua saham sedangkan pejalan kaki satu saham”.
Ibnu Taimiyah berkata:yang adil dalam masalah ini bagi pejala kaki adalah dapat satu saham dan penunggang kuda 3 saham, 1 saham untuknya dan 2 saham untuk kudanya, dan beginilah Rasulullah Salalllahu alaihi wa Sallam membagikannya.pada kejadian khaibar, ada dari para fuqoha’ berkata : “bagi penunggang kuda 2 saham”. Dan yang pertama yang ada dalil dan sunnah ash-shohihah karena kuda di butuhkan bagi dirinya dan saihnya, serta manfaat kuda lebih banyak baginya dari pada pejalan kki , ada sebagian mereka berkata: penunggang kuda arab maupun kuda hajjin sama dalam hal ini.
q Fa’I
Pengertian :
Secara bahasa fa’I berasal dari kata “ Afaa’a-yufii’u – ifaa’an – wafai’an “ –“ Afaa’al amru “ yakni “ Mengembalikannya , yakni mengumpulkan kebaikan itu untuknya .Fa’I bermakna pula : Pajak , jarahan yang di dapat tanpa pertempuran .
Menurut istilah syar’I : “ Segala harta yang di rampas dari orang tanpa melalui perang ataupun pengerahan nkuda ataupun onta , seperti : harta yang di tinggalkan orang –orang kafir karena takut di serang oleh kaum muslimin dan melarikan diri , harta jizyah , harta pajak dan hasil kompensasi perdamaian , harta ahli dzimmah yang mati tidak punya ahli waris , dan harta orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati . Dalilnya adalajh firman Allah Ta’ala dalam surat Alhasyr : 6-7 yang artinya :
“ Dan apa saja harta rampasan ( fa’I ) yang di berikan Allah kepada Rosulnya ( dari harta benda ) mereka , maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan tidak pula seekor untapun , tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rosulnya terhadap siapa yang di kehendaki Nya . Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu . Apa saja harta rampasan ( fa’I ) yang di berikan Allah kepada RosulNya yang berasal dari penduduk kota – kota maka adalah untuk allah , Rosul , kerabaat Rosul , anak – anak yatim , orang – orang miskin dan orang –orang yang dalam perjalanan , supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang – orang kaya saja di antara kamu . apa yang di berikan Rosul kepadamu maka terimalah dia .Dan apa yang di larang nya bagimu maka tinggalkanlah , dan bertqwalah kepada Allah . Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman- Nya.”
Pembagian:
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa harta fa’I tidak diambil bagian seperlimanya , semuanya di salurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin , kecuali golongan Syafi’I , mereka mengatakan : ( Di bagi – bagi ,seperlima dari padanya di berikan kepada golongan – golongan yang telah di sebut sebelumnya pada pembagian ghonimah dalam ayat alquran , sedang empat perlima bagian sisanya adalah untuk Nabi semasa hidupnya bersama dengan seperlima bagian dari harta ghonimah,oleh karena Rasulullah memang berhak memperolehnya , lantaran beliau punya andil besar dalam menggetarkan dan menyiutkan nyali musuh . Adapun sepeninggal beliau , maka bagian itu diberikan untuk gaji pasukan yang ditetapkan imam untuk tugas jihad , dan nama-nama mereka terdaftar di diwan ( kantor administrasi ). Kemudian kelebihannya di peruntukkan bagi kemaslahatan kaum muslimin, seperti perbaikan benteng , penguatan daerah perbatasan , pembelian senjata dan lain – lain .
q Salb
Pengertian :
Secara bahasa salb berarti pengambilan secara paksa dan perampasan , sedang menurut istilah , salb adalah : pengambilan apa – apa yang di miliki orang kafir harbi yang terbunuh , berupa pakaian , senjata , barang ,tunggangan dan lain-lain .Di sebutkan juga dalam kitab fiqh Islami tulisan doktor Wahbah Azzuhailiy, bahwa salb pengertian adalah :
Pakaian orang yang terbunuh atau senjatanya , atau kendaraan yang ia tumpangi, atau harta yang ia bawa. Adapun pembantu yang terbunuh yang naik kuda lain atau harta – harta yang ia bawa di atas kuda lain , maka semua itu termasuk harta ghonimah yang menjadi hak para penerima ghonimah .Ini adalah madzhab Hanafiah sebagaiman di sebutkan dalam kitab Badaa’iush Shonaai’ juz 7 hal114 ,
Dan juga merupakan madzhab Malikiah yang memberi konsekwensi bahwa orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat harta rampasan orang yang tebunuh kecuali atas ijin seorang imam , yakni seorang imam memberinya harta yang kedudukannya sebagai nafal setelah selesai perang dengan ijtihad imam .Sedangkan golongan Syafi’iyah dan Malikiah berpendapat bahwa seorang yang membunuh itu berhak untuk mendapat harta rampasan ( salb ) orang yang terbunuh meskipun tidak mendapat lesensi dari imam dengan keumuman dalil dari hadist Rosulullah yang artinya :
“ Barang siapa yang dapat membunuh seorang musuh maka ia berhak mendapat harta salbnyya “. ( subulussalam : 4/52)
.Telah di riwatkan bahwa Abu Talhah rodziallahu ‘anhu membunuh 20 orang pada perang Khaibar , dan beliau pun mengambil salb 9 harta rampasa mereka .(Nailul author 7 / 262.)
Perbedaan pendapat antara dua golongan ini berawal dari pemahaman apakah perkataan Rosulullah yang artinya : “ Barang siapa yang membunuh seorang musuh “
Apakah ini muncul dengan lewat adanya imam atau …?
Pengikut mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat: Sesungguhnysa salb itu tidaklah menjadi milik orang yang membunuh kecuali pada perang Hunain , maka pengkhususan beberapa mujahidin …….pada ijtihad imam , maka hal ini haruslah ada kepemimpinan (imam) dan politik . Dan apa yang ada pada zaman nabi dengan adanya keimamahan maka kepemilikan harta bagi orang yang membunuh haruslah ada ijin imam setiap masa .
Adapun golongan syafi’iah dan hanabilah berkata: Sesungguhnya pengkususan harta salb kepada sebagian orang ( mujahidin ) terjadi pada masa rosulullah dengan jalan …., bukan dengan jalan imamah dan setiap yang kepemilikan harta dengan jalan … dan dan tabligh berhak di miliki tanpa adanya ketentuan hakim atau ijin imam .
Perlakuan terhadap nyawa mereka
Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin bahwa saat terjadi perang, boleh membunuh orang musyrik yang sudah dewasa, laki-laki dan ikut berperang. Yang masih menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah perlakuan terhadap kafir harbi yang tertawan.
Mereka juga bersepakat bahwa tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita musyrikin selama wanita dan anak-anak tersebut tidak ikut berperang. Jika wanita atau anak tadi ikut ambil bagian dalam perang, maka darahnya halal dan harus dibunuh.Islam mengajarkan bahwa tidak boleh dibunuh kecuali orang yang terlibat perang atau yang orang yang membantu orang-orang musyrik dalam memerangi kaum muslimin, baik dengan harta pikiran ataupun sarana lainnya. Dan mereka berselisih pendapat tentang orang selain wanita dan anak-anak yang bukan ahlul qital. Hal ini akan kami bahas dan satu pembahasan tersendiri insya’alloh.
Perlakuan terhadap tawanan
Ibnu Rusyd berkata :”Boleh menjadikan orang kafir harbi dengan segala macamnya sebagai budak berdasarkan ijma’, baik itu laki-laki maupun perempuan, anak-anak, dewasa maupun orang tua. Yang masih ada perselisihan hanyalah nasib para pendeta. Sebagian ulama tidak memperbolehkan membunuh atau menjadikan mereka sebagai budak.” (secara lebih lengkap lihat: Bab II tentang Daarul Harbi)



Tawanan di bagi menjadi dua kelompok :
a. Kelompok pertama :
Mereka adalah golongan wanita dan anak – anak , dan orang – orang yang status hukumnya seperti orang – orang gila dan budak .Haram membunuh mereka kecuali bila mereka ikut perang .Golongan ini disebut dengan istilah sabiyyun .
Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi pernah berjalan pada salah satu ghozwah yang di ikutinya, lalu beliau menemukan mayat perempuan yang terbunuh, beliau tidak membenarkan pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak –anak .
Ibnun ‘abbas meriwatkan : bahwasanya Nabi pernah melihat perempuan yang terbunuh saat beliau sedang berjalan pada perang hunain .Lalu beliau bertanya : “ Siapa yang membunuh perempun ini ? lantas seorang lelaki menjawab : Saya ya rosulullah , saya telah memperolehnya sebagai jarahan, lalu saya boncengkan ia di belakang kendaraqan saya .Tatkala ia melihat kekalahan ada di pihak kita , mendadak ia hendak menarik gagang pedangku untuk membunuhku .” Mendengar penuturan shahabat tersebut, beliau diam tidak menyalahkan.
Para tawanan wanita itu di jadikan budak bila mereka adalah dari golonagan ahlu kitab, namun menurut Asy-syafi’I, mereka di bunuh jika menolak untuk masuk islam .
“Sabiyyun “(tawanan kelompok yang pertama ini) di bagi – bagi seperti harta ghonimah. Seperlima untuk Allah, RosulNya, orang–orang miskin, dan ibnu sabil. Sedangkan sisanya yang empat perlima di bagikan kepada mereka yang berhasil merampasnya dan kepada yang lain menurut pandangan imam dalam rangka kemaslahatan umum.
b. Kelompok kedua: kaum laki-laki yang telah akil baligh.
Golongan inipun ada dua kondisi:
Pertama: kaum laki laki yang sudah tua renta di antara mereka , maka masih menjadi perselisihan pendapat tentang boleh tidaknya menawan dan membunuh mereka .Golongan imam Hambali berpendapat bahwa tidak halal menawan mereka , karena mereka itu haram untuk di bunuh , dan tidak manfaat memiliki mereka. Sementara malik dan Abu hanifah berpendapat bahwa tidak boleh di bunuh orang yang buta , atau orang yang tidak waras pikirannya , atau penghuni kuil , atau orang tua ( laki-laki ) yang jompo .
Berdasarkan sabda nabi : “ Berangkatlah kalian dengan asma Allah dan diatas millah Rosulillah .Janganlah kalian menbunuh lelaki yang sudah tua renta, atau anak kecil, atau perempuan, dan jangan lah kalin berbuat ghulul, kumpulkanlah ghonimah –ghonimah kalian , dan berbuatlah kalian , sesungguhnya Allah menyukai orang –orang yang berbuat baik .”
Imam syafi’I berkata : “ Mereka di bunuh semua berdasarkan keumumman firman Allah Ta’ala: “ Maka bunuhlah orang –orang musyrik itu semua ……”(Attaubah :5)
Dan berdasarkan sabda nabi yang artinya : ‘ aku di perintah kan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengatakan bahwa tiada ilah kecuali Allah , msk jika mereka telah mngatakannya , terlindunglah dari padaku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya , dan perhitungan mereka terserah kepada Allah” . HR.Bukhori , ,dan muslim , Abu Dawud , At tirmidhi , da Ibnu majah .
Kedua: tawanan laki – laki yang telah akil baligh dan bukan termasuk golongan yang tua renta , maka jumhur ulama berpendapat bahwa imam bebas memillih alternatif anatara : Dibunuh , atau dijadikan tebusan atau di lepas bebas , atau di jadikan budak yang menurutnya dapat membawa kemasahatan untuk kaum muslimin .
Berdasarkan firman Allah dalam surat Muhammad : 4 yang artinya : { Apaila kalian menjumpai orang –orang kafir ( di medan perang ) maka pancunglah batang leher mereka .Sehingga apabila kalian talah banyak membunuh dan melukai mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menukarnya dengan tebusan sampai perang berhenti ….. (QS Muhammad: 4)
Diutarakan oleh Ibnu Qoyyim dan Ahmad ‘Isa ‘Asyur: (…ada riwyat kuat bahwasannya Rasululah saw menawan tawanan perang badar dengan tebusan sejumlah harta dan menebus dua orang muslim (yang tertawan musuh) dengan tawanan orang bani Aqil dan pernah menebus sejumlah kamu muslimin dengan seorang gadis hasil rampasan perang dan pernah melepas bebas pada perang badr ‘Abul ‘Ash bin Ar Rabi’ serta Abu ‘Izzah Al Jahmi dan beliau pernah menawan Ibnu Mamah bin Atsal – pemuka bani Hanifah- dan mengikatnya pada tiang masjid kemudian beliau pernah membebeskannya lalu ia masuk Islam dan beliau pernah menghukum mati tawanan diantaranya :Uqbah bin Abi Mu’ith dan An Nadhir bin al Harits lantaran kerasnya permusuhan kedua orang tersebut kepad Allah dan RasulNya . imam Ahmad menuturkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas berkata :”ada diantara tawanan yang tidak mempunyai harta lalu rasulullah menjadikan tebusan sebagai pembebasan mereka dengan mengajar menulis kepada anak-anak golongan Ansar . dan boleh menggauli wanita –wanita yang ditawan dengan syarat sesudah ghonimah dibagi-bagikan :jika wanitta itu telah bersuami maka dibolehkan tetapi telah berlalunya masa ‘iddahnya ya’ni dengan sucinya dia dari haidh.
Berdasarkan firman Allah:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“ Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita-wanita yang telah bersuami, kecuali budak-budak yamng kalian miliki..” (an Nisaa’24)
Dan adalah Rasulullah melarang memisahkan pada kaum tawanan antara ibu dan anak. Beliau bersabda :“Barangsiapa yang memisahkan antar ibu dan anaknya maka Allah akan memisahkan antara dia dengan orang yang dicintainya pada hari kiamat”
Adalah nabi saw pernah diberikan kepadanya tawanan wanita dan anaknya lalu beliau memberikan semua kepada ahli baitnya karena beliau tidak suka memisahkan antara mereka “6
Islam memerintahkan baik kepada para tawanan dan memperlakukan dengan baik pula. Keterngan lebih lengkap bisa dilihat dalam Bab: Adab-adab jihad di jalam Allah dalam kityab ini.
Menjadikan Ahludz Dzimmah
Secara garis besar, aqdu dzimah ini diambil dari setiap non muslim yang ingin menetap di negara Islam, baik mereka itu menetap di antara pemukiman kaum muslimin maupun mereka ini membuat kampung tersendiri yang jauh dari kampung kaum muslimin.
Bila diperinci, mereka ini terbagi dalam beberapa golongan -- sesuai dengan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama -- , yaitu :
Golongan Pertama :
Ahlu kitab ( yaitu orang-orang Nasrani dan Yahudi ) dan kaum Majusi. Mengenai ketiga golongan ini, para ulama telah bersepakat bahwa boleh diambil jizyah dari mereka.
Golongan Kedua :
Orang-orang musyrik; para penyembah berhala dan orang-orang atheis yang bukan orang murtad. Mengenai golongan ini, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Secara singkat bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pendapat yang mengatakan tidak boleh mengambil aqdu dzimmah dan jizyah selain dari ahlu kitab dan majusi, baik orang arab maupun ajam. Ini adalah pendapat imam Ahmad, Syafi’i, Dhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah.
Boleh mengambil jizyah dari seluruh non muslim kecuali para penyembah berhala (musyrikin) arab. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu dari dua riwayat pendapat Imam Ahmad.
Pendapat Ketiga: Boleh mengambil aqdu dzimmah dan jizyah dari seluruh non muslim tanpa terkecuali. Ini adalah pendapat Imam al Auza’i, Imam Malik dan dzahir dari pendapat Syi’ah Zaidiyyah. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Qayyim.

B. Kedua: Perlakuan Terhadap Orang Murtad.
1. Berdiskusi (mendakwahi) dan menyuruh untuk bertaubat
Wajib hukumnya memerangi orang-orang murtad setelah berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Jika mereka tetap tidak mau kembali kepada Islam, mereka diperangi sebagaimana orang kafir harbi dalam hal bolehnya menyergap mereka dan menyerang pada waktu malam hari.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa istitabah hukumnya adalah wajib. Diantaranya adalah Umar, Ali, Atho’, An-Nakho’I, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’I, Ishaq dan ashabur ra’yi. Dan ini adala salah satu dari dua pendapat Imam syafi’I. Begitu pula Ath-Thobari dan Ar-Ruyyani mengikuti pendapat ini. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ar-Rofi’I dan Ibnu Qudamah.
Dalil-dalil yang mereka jadikan landasan adalah sebagai berikut:
Bahwasanya seseorang diutus Abu Musa Al-Asy’ari % kepada Umar bin Khothob %, maka Umar bertanya kepadanya:”Ada kabat apa?” Maka ia menceritakan bahwasanya ada seseorang yang kafir setelah masuk Islam. Maka Umar bertanya:”Lalu apa yang kalian lakukan?” Ia menjawab:”Dia kami panggil lalu kami penggal lehernya.” Maka Umar mengatakan:”Kenapa tidak kalian penjarakan dia selama tiga hari, setiap hari kalian kasih maka roghif dan kalian beri minum supaya ia bertaubat? Ya Alloh aku tidak ada ketika itu dan aku tidak memerintahkannya dan aku tidak rela ketika kabar itu sampai kepadaku.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho’ bab Al-Qodlo’ Fiiman Irtadda ‘anil Islam, kitabul Jihad II/737, Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnif, bab Al-Kufru ba’dal Iman, kitab Al-Luqothoh XV/165, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnif, bab Fil Murtad ‘Anil Islam, kitab Al-Hudud X/137 dan dalam bab Maa Qooluu Fil Murtad Kam Yustatab, Kitabul jihad XII/273 dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan, bab Maa Jaa’a Fil Futuh, kitabul Jihad II/226)
Landasan yang lain adalah murtadnya Ummu Marwan. Ketika berita tersebut sampai kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam beliau memerintahkan untuk menyuruhnya bertaubat dan membunuhnya jika tidak mau bertaubat. (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam As-Sunan, Kitabul Hudud Wad Diyat Wa Ghoiruhu III/118 dan Al-Baihaqi dalam As-sunan Al-Kubro, bab Qotlu Manirtadda … kitabul Murtad)
Mereka juga mengatakan bahwa biasanya orang yang murtad itu tidaklah murtad begitu saja tanpa ada alasan, biasanya mereka murtad karena mempunyai syubhat yang mendorongnya untuk murtad. Oleh karenanya syubhat ini harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum dibunuh.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa istitabah itu hukumnya sunah dan tidak wajib. Mereka yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Imam Ahmad dalam salah satu dari diwayat dari belau, salah satu dari dua pendapat imam Asy-Syafi’I, pendapat Ubaid bin Umair dan Thowus, pendapat ini juga diriwayatkan dari Al-Hasan.Dan ini adalah madzhab Hanafi.
Adapun dalil dalil mereka di antaranya adalah sebagai berikut:
من بدل دينه فاقتلوه
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Mu’adz datang menemui Abu Musa Al-Asy’ari. Lalu belau melihat ada seseorang yang terikat di sampingnya. Maka belau bertanya:” Siapa ini?”Abu Musa menjawa:”Ia dulu adalah seorang Yahudi lalu masuk Islam lalu kembali kepada agamanya yang buruk itu yaitu Yahudi.” Maka Mu’adz mengatakan:”Saya tidak akan duduk sebelum ia dibunuh sebagaimana keputusan Alloh dan Rosul-Nya.” Abu Musa berkata:”Duduklah!” Mu’adz mengatakan:”Saya tidak akan duduk sebelum ia dibunuh sebagaimana keputusan Alloh dan Rosul-Nya.” Sampai tiga kali. Maka diperintahkanlah untuk membunuh orang tersebut.(Muttafaq ‘Alaih)
Mereka juga beralasan bahwa orang murtad itu seperti kafir asli, sehingga tidak wajib untuk menyuruhnya kembali kepada Islam, karena ia telah mendengar dakwah Islam.
Mereka juga beralasan bahwa membunuh orang murtad itu tidak ada dendanya, seandainya hal itu wajib pasti ada dendanya.
Ar-Rofi’i berkata:”Dan baik yang berpendapat wajib maupun yang berpendapat sunnah, dalam memberikan tempo waktu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: ia diberi tempo tiga hari; berdasarkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwasanya seseorang diutus Abu Musa Al-Asy’ari % kepada Umar bin Khothob %, maka Umar bertanya kepadanya:”Ada kabar apa?” Maka ia menceritakan bahwasanya ada seseorang yang kafir setelah masuk Islam. Maka Umar bertanya :”Lalu apa yang kalian lakukan?” Ia menjawab:”Dia kami panggil lalu kami penggal lehernya.” Maka Umar mengatakan:”Kenapa tidak kalian penjarakan dia selama tiga hari, setiap hari kalian kasih maka roghif dan kalian beri minum supaya ia bertaubat? Ya Alloh aku tidak ada ketika itu dan aku tidak memerintahkannya dan aku tidak pula rela ketika kabar itu sampai kepadaku.”
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang dipilih oleh oleh Al-Mazni bahwasanya ia disuruh bertaubat ketika itu dan jika ia tidak mau bertaubat maka ia dibunuh dan dia tidak diberi tenggang waktu berdasarkan hadits dari Ummu Ruman yang talah lalu.
Pendapat pertama adalah madzhab Malik dan Ahmad, sedangkan riwayat dari Abu Hanifah begitu juga dan ada riwayat lain, bahwasanya orang murtad disuruh bertaubat tiga kali setiap satu jum’at sekali. Dan tidak ada perselisihan bahwa saselama dalam tempo yang di berikan ia tidak dibiarkan bebas akan tetapi dipenjara. Dan juga tidak ada perselisihan bahwasanya jika ia dibunuh sebelum disuruh bertaubat atau sebelum habis temponya tidak ada hukuman apa-apa, meskipun orang yang membunuh itu telah berbuat jahat.”
2. Perlakuan terhadap nyawa mereka
Tidak boleh berdamai dengan mereka dengan membiarkan mereka tinggal di negeri mereka, dan juga tidak boleh menerima pajak dari mereka dengan tujuan berdamai dengan mereka dengan dengan tetap membiarkan mereka dalam keadaan murtad.
Boleh menjadikan tujuan dalam berperang untuk membunuh mereka oleh karena itu:
Mereka diperangi baik yang menghadapi maupun yang lari.
Boleh membunuh orang yang terluka dari mereka.
Tawanan dari mereka dibunuh jika tidak mau bertaubat.
Mereka semua yang tidak mau bertaubat dibunuh meskipun tidak mampu berperang.
3. Perlakuan terhadap hartanya
Hasil harta ghonimah tidak dibagikan kepada pasukan sedang kan harta orang yang masih hidup, jika ia masuk Islam dikembalikan kepada yang punya namun jika tidak maka harta tersebut menjadi fai’.
(Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali bersepakat bahwasanya hartanya orang murtad itu dijadikan fai’ untuk baitul mal kaum muslimin, jika orang tersebut tetap dalam keadaan murtad sampai ia mati atau dibunuh dan mereka berselisih pendapat pada harta nafkah untuk anak dan istrinya pada waktu ia murtad….)
Harta orang yang terbunuh dari mereka menjadi fai’. Begitu pula harta ghonimah yang tidak jelas pemiliknya juga menjadi fai’.
Sedangkan menurut Abu Hanifah harta mereka menjadi ghonimah dan tanah mereka menjadi fai’. Dan menurut Ahmad harta mereka menjadi ghonimah.

4. Perlakuan kepada tawanan
Mereka tidak dijadikan budak, namun mereka semua dibunuh baik laki-laki maupun perempuan selama mereka tidak mau bertaubat, berdasarkan sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam:”
من بدل دينه فالتلوه
“Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.”
Dan menurut Abu Hanifah wanita mereka dijadikan budak dan dipaksa masuk Islam. Sedangkan anak-anak mereka yang lahir seebelum murtad maka mereka dianggap sebagai orang Islam.
Adapun anak-anak mereka yang lahir setelah murtad maka mereka boleh dijadikan budak sebagaimana anak-anak orang-orang harbi. (Kaji:Al-Ahkam As-Sulthoniyah karangan Al-Mawardi 55-58, Al-Ahkam As-Sulthoniyah karangan Abu Ya’la, Al-‘Uddah Syarhul ‘Umdah 578-582, Al-Kafi IV/155-164, Badai’ushonai’ IX/4382-4396, Hasyiyatu Ibni ‘Abidin III/307-311, Al-Mathba’ah Al-Kubro Al-Amiriyyah dan Al-Mughni VIII/123-106, maktabah Ibnu Taimiyah)
Orang murtad tidak boleh diampuni (dibiarkan hidup) dengan memberikan ganti atas kekafirannya tersebut dengan jizyah atau yang lainnya. Maka ajika penduduk sebuah kota murtad, tidak ada pilihan bagi mreka kecuali taubat atau mati dan mereka tidak boleh dijadikan budak. Dan jika mereka sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, maka mereka diperangi dan jika tertangkap maka mereka dibunuh. (Lihat Al-Mabsut X/116, Al-Mughni XII/282, Al-Muharror II/169, Syarhu Minahil Jalil IV/366)
5. Menjadikannya sebagai ahludz dzimmah
Orang-orang yang murtad. Para ulama telah bersepakat bahwa jizyah dan aqdu dzimmah tidak boleh diambil dari orang yang murtad.
Orang yang murtad berarti tidak berada di atas suatu agama yang diakui, karenanya para ulama bersepakat bahwa orang yang murtad wajib dibunuh. Yang masih mereka perselisihkan hanyalah, apakah wajib memberi ia waktu untuk bertaubat ataukah tidak ? Dengan adanya kewajiban membunuh ini, maka gugur dan hilanglah dzimmahnya, karena fungsi aqdu dzimah adalah untuk melindungi harta dan nyawa orang yang memegang aqad tersebut.
Al-Mawardi mengatakan: “Dan Daarur Riddah mempunyai hukum yang berbeda dengan Darul Islam dan Daarul Harbi. Adapun perbedaannya dengan Daarul Harbi dalam empat hal:
Pertama: tidak boleh mengadakan hudnah (gencatan senjata) dengan mereka dan membiarkan mereka tinggal di negeri mereka sedangkan dengan penduduk Daarul Harbi boleh.
Kedua: tidak boleh mengadakan shulh (damai) yang ditebus dengan harta mereka dengan membiarkan mereka dalam keadaan murtad, sedangkan dengan penduduk Daarul Harbi boleh.
Ketiga: tidak boleh memperbudak mereka dan istri-istri mereka, sedangkan dengan penduduk Daarul Harbi boleh.
Keempat: harta mereka tidak dijadikan ghonimah, sedangkan harta penduduk Daarul Harbi dijadikan ghonimah.
Abu Hanifah mengatakan bahwa lantaran kemurtadan mereka itu negara tersebut berubah statusnya menjadi Daarul Harbi, mereka dijadikan budak, hartanya dijadikan ghonimah dan tanah mereka menjadi fai’,dan mereka menurut beliau seperti orang-orang Arab penyembah berhala.
Adapun perbedaannya dengan Daarul Islam juga empat hal:
Pertama : wajib memerangi yang melawan dan yang kabur.
Kedua : halal darah mereka baik yang tertawan maupun tidak.
Ketiga : harta mereka menjadi fai’ bagi kaum muslimin.
Keempat: pernikahan mereka batal dengan berlalunya masa ‘iddah walaupun mereka telah bersepakat untuk murtad.
Wallahu ‘alam bish shiwab

Komentar

Postingan Populer