Sembelihan Yang Tidak Diketahui Siapa yang Menyembelihnya


DAGING SEMBELIHAN YANG TIDAK DIKETAHUI SIAPA YANG MENYEMBELIHNYA

Ketika ada Darul Islam, maka orang murtad tidak diakui hidup di dalamnya di mana dia hanya punya pilihan dibunuh atau kembali kepada islam, sehingga yang tinggal di Darul Islam hanyalah kaum muslimin yang sudah jelas sembelihannya adalah halal walaupun tidak diketahui apa si Zaid atau si Amar yang menyembelihnya, dan orang – orang kafir Dzimmi Ahli kitab yang sembelihannya halal pula atau kafir dzimmiy yang bukan ahli kitab yang haram sembelihannya yang mana mereka punya pasar tersendiri, sehingga di di Darul Islam tidak akan diperkenankan masuk ke dalam pasar kaum muslimin. Barang – barang yang haram berupa bangkai, sembelihan yang tidak halal bagi orang islam, Khamr dan yang lainnya, sehingga setiap muslim tidak ragu perihal kehalalan daging hewan yang dijual di pasar mereka.
Namun ketika menguasai kendali urusan di sini adalah orang – orang murtad yang memerintah dengan hukum kafirnya yang mengaku muslim, dan orang – orang murtad dan kafir musyrik lainnya diakui hidup di dalamnya dan standar kehalalan sembelihan adalah hanya sekedar mengaku islam dan membaca basmalah walaupun orang itu adalah Thoghut atau Anshor Thoghut yang nyata kekafirannya atau orang murtad yang nyata kemurtaddannya, sehingga sembelihan itu diperkenankan dijual di pasar kaum muslimin dan kita pun saat mau membeli daging sembelihan, bingung dan tidak tahu apa yang akan kita beli ini sembelihan orang muslim ataukah sembelihan orang murtad atau orang musyrik non ahli kitab, dan apakah yang kita makan beli di warung itu benar sembelihan orang muslim atau bukan?
Kalau kita mengetahui bahwa itu adalah sembelihan orang muslim dan kita ragu atau tidak mengetahui apa dia membaca basmalah atau tidak, maka kita membaca bismillah dan memakannya berdasarkan hadits Aisyah ra, “Bahwa orang – orang berkata kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: sesungguhnya suatu kaum datang kepada kami dengan membawa daging sedang kami tidak mengetahui apakah mereka itu menyebut nama Allah saat menyembelihnya ataukah tidak? Maka nabi berkata: Sebutlah nama Allah terhadapnya oleh kalian dan makanlah.” (HR.Al Bukhari)
Orang yang menyembelihnya jelas orang muslim sebagaimana di dalam lanjutan Aisyah ra, “Sedang mereka itu orang – orang yang masih dekat dengan masa kekafiran.” Maksudnya mereka itu baru masuk islam yang belum mengetahui kewajiban membaca bismillah dan di dalam satu riwayat, “Sesungguhnya orang – orang yang masih dekat dengan masa kejahiliyyahan.”
Imam Malik berkata tentang hadits itu di dalam Al Muwaththa: Dan itu adalah di awal islam.” (346, Kitab Adz Dzabaah)
Ad Daruquthniy berkata tentang makna hadits di atas: Yang menyembelihnya orang muslim, dan yang membuat si penanya ragu adalah karena orang – orang itu baru masuk islam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi sallam menggugurkan keraguan itu.” (Subulussalam Kitabul Ath’imah, Bab Ash Shaid Wadz Dzabaih, hadits ke dua)
Ini andaikata sudah diketahui penyembelihnya orang muslim dan yang diragukan hanyalah berkaitan dengan pengucapan basmalah…
Namun bila kita mengetahui bahwa yang menyembelihnya adalah orang murtad atau kafir asli non ahli kitab, maka haram dimakan walaupun kita membaca bismillah saat memakannya.
Dan yang menjadi pokok permasalahan di sini dan yang merupakan fenomena di sini dI Darur riddah, adalah daging yang tidak diketahui apa orang muslim atau orang murtad yang menyembelihnya? Dan kita tidak bias berpatokan kepada kehalalan yang dikeluarkan oleh pemerintah murtad atau oleh MUI, karena menurut mereka para anggota dewan, hakim, jaksa, polisi, tentara, dan yang serupa dengannya bila mengaku muslim dan membaca bismillah, maka halal sembelihannya.
Dalam hal seperti ini, ketahuilah bahwa daging yang tidak diketahui apa muslim atau murtad yang menyembelihnya adalah tidak halal kita makan, karena hukum asal sembelihan itu adalah haram, sebagaimana yang disepakati ulama: “Hukum asal pada hewan sembelihan adalah haram berdasarkan kesepakatan.” (Al Wajiz Fil Qawa’id Al Fiqhiyyah) sehingga ketika terjadi keraguan apakah sebab yang menghalalkan ataukah sebab yang mengharamkan yang menjadikan hewan itu mati, maka dikembalikan kepada hukum asal yaitu haram. Sedangkan dalil hukum asal tersebut, di antaranya adalah hadits Adiy Ibnu Hatim ra, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Bila kamu melepas anjingmu (yang terlatih) maka sebutlah nama Allah terhadapnya, kemudian bila ia menangkap (hewan buruan) buatmu sedangkan kamu mendapatkannya masih hidup, maka sembelihlah! Namun bila kamu mendapatkannya telah terbunuh (oleh anjingmu) sedangkan ia tidak memakan darinya, maka makanlah! Dan bila kamu mendapatkan ada anjing lain bersama anjingmu sedang (hewan buruannya) telah terbunuh maka jangan kamu makan karena sesungguhnya kamu tidak mengetahui mana diantara dua anjing itu yang membunuhnya! Dan kalau kamu menembakkan panahmu, maka sebutlah nama Allah, kemudian bila hewan burun itu lenyap darimu satu hari (terus kamu menembaknya) dan tidak mendapatkan padanya kecuali bekas (tembakan) panahmu, maka makanlah kalau kamu mau, namun bila kamu mendapatkannya tenggelam di air maka jangan kamu makan.” (Muttafaq ‘alaih)
Perhatikan sabdanya, “Dan bila kamu mendapatkan ada anjing yang lain bersama anjingmu sedangkan (hewan buruannya) telah terbunuh maka jangan kamu makan, karena sesungguhnya kamu tidak mengetahui mana diantara dua anjing itu yang membunuhnya.” Di sini kematian hewan diragukan apakah oleh sebab yang menghalalkan (yaitu anjing yang dilepas si pemburu) atau oleh sebab yang mengharamkan (anjing yang lain), maka Rasulullah mengunggulkan sisi keharaman yang merupakan hukum asal sembelihan, dan hal serupa pula di dalam sabdanya, “Namun bila kamu mendapatkannya (yaitu hewan yang ditembak) tenggelam di air maka jangan kamu makan.” Di sini diragukan apakah kematiannya karena sebab tertembak panah ataukah karena tercekik air, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunggulkan sisi pengharaman yang merupakan hukum asal sembelihan…
Begitu juga daging yang dijual di pasar atau di warung atau yang diberikan oleh thaghut di tahanan atau di LP sebagai jatah makanan, kita tidak mengetahui apakah itu hasil sembelihan orang muslim atau orang murtad atau kafir asli, maka statusnya dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu haram, dan tidak boleh berdalil dengan hadits Aisyah radliyallahu ‘anha di atas untuk menghalalkannya dengan sekedar membaca bismillah, karena hadits itu berkenaan dengan sembelihan orang muslim namun diragukan apa dia membaca bismillah saat menyembelihnya atau tidak, makanya imam Ash Shan’aniy berkata: Adapun yang diragukan di dalamnya (apa membaca bismillah atau tidak) sedangkan yang menyembelihnya adalah orang muslim, maka ia seperti yang dikatakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “sebutlah nama Allah dan makanlah.” Adapun yang tidak diketahui apakah yang menyembelihnya prang muslim atau murtad atau yang lainnya yang tidak halal sembelihannya, maka yang berlaku padanya adalah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu” Maka jangan kamu makan, karena kamu tidak mengetahui mana diantara dua anjing itu yang membunuhnya!”
Itulah hukum daging yang kita tidak ketahui apakah yang menyembelihnya orang muslim ataukah orang mustad atau yang lainnya, seperti yang selama ini dijadikan jatah makanan buat kita di tahanan…
Semoga dipahami dan diamalkan…
Wallahu ta’ala a’lam…

2 Syawal 1431 H
Abu Sulaiman
Mu’taqal PMJ/Polda Metro Jaya

Komentar

Postingan Populer